“Catatan Kecil Persoalan Besar”

Joppie Worek (foto: dok JW)

Bencana Longsor Bakan Lolayan, Bolmong adalah sebuah pelajaran sekaligus peringatan sangat keras kepada penguasa dan masyarakat

Oleh Joppie Worek

Bacaan Lainnya

PELAJARAN :

Catatan pertambangan emas oleh rakyat ilegal di Sulawesi Utara sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum kemerdekaan repoblik perburuan logam emas di Sulawesi Utara sudah berlangsung terbuka. Tatelu – Likupang, Motoling – Tombatu – Ratatotok Bolaang, Mongondouw, Gorontalo hingga kini masih menyimpan bekas-pertambangan tradisional. Setelah kemerdekaan, ketika Sulawesi Utara mengalami booming pertanian Kelapa, Pala, dan Cengkeh, kekayaan logam mulia itu tidak diminati oleh masyarakat kebanyakan.

Namun, dalam 30 tahun terakhir ini, sejak 1980an aksi massal rakyat masuk hutan memburu emas semakin terbuka. Pertengahan tahun 1980-an ribuan rakyat yang ternyata petani dari Minahasa, Bolaang Mongondouw menyerbu kawasan-kawasan tambang seperti Ratatotok Minahasa dan Lanud. Diikuti serbuan ke Tatelu, Motoling, serta Modayag dan Dumoga, Lolayan. Bahkan tidak sedikit yang berusaha mencari lokasi baru di sejumlah tempat. Pertanian seperti tidak menjanjikan lagi.

Maka sejak 1990 terjadi perburuan emas oleh rakyat tak terkendali, seiring hadirnya industri pertambangan moderen di Sulut seperti PT di NMR di Mitra, PT. MSM di Minut/Bitung serta dua perusahaan lainnya di Minsel dan Bolmong. Seolah rakyat dan kapitalis tambang berlomba memburu emas.

Pemerintah sendiri harus memfasilitasi industri pertambangan, kendati sempat mendapat tekanan publik. Sementara itu, pemerintah juga “kelabakan” mengurus pertambangan tradisional yang dilakukan rakyat di banyak tempat.

PERINGATAN :

Peristiwa tragis longsor Bakan Lolayan Bolmong sebenarnya telah menguak sebuah fakta yang lama tertutup oleh pergulatan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Sulawesi Utara sesungguhnya tidak lagi patut disebut sebagai daerah pertanian atau daerah nyiur melambai. Sebab, ada beberapa fakta sosial dan kultural Sulut bukan lagi daerah pertanian, inilah beberapa faktanya :

  1. Data di Bappeda Sulut tahun 2012 menyebut, rata-rata kepemilikan lahan oleh petani di Sulut hanya 0,4 Ha/KK petani, diperkirakan tahun 2019 ini angka itu sudah menurun hingga 0,3 Ha/KK petani. Maka tidaklah mengherankan, ketika lahan pertanian makin terbatas, petani generasi baru kelahiran 1970 – 1990 meninggalkan sektor pertanian.
  2. Sudah jadi rahasia umum, lahan-lahan produktif di pedesaan Sulawesi Utara kepemilikannya kini lebih 50 % didominasi oleh elit perkotaan. Lahan-lahan potensial produktif itu sebagian besar “tertidur” sebagai aset para elite. Lahan “tertidur” selain dapat digunakan untuk agunan kredit di bank, juga sewaktu-waktu dapat “diuangkan” untuk kebutuhan proyek termasuk proyek pertambangan.
  3. Kehadiran empat industri pertambangan di Minut, Bitung, Minsel, dan Bolmong sudah cukup merangsang para elite pemilik modal melakukan spekulasi investasi memborong tanah di pedalaman. Maka terampaslah lahan lahan pertanian rakyat. Mungkin saja tanah bahkan hutan yang dikuasai elite itu mengandung emas. Sebenarnya tanah yang diborong para pemilik modal itu lebih pantas dikelola oleh rakyat petani genarasi baru. Tetapi apa mau dikata, petani generasi baru itu hanya bisa menonton kepemilikan tanah yang “ditidurkan” elite perkotaan.
  4. Lambannya industrialisasi pertanian, serta lambatnya alih tehnologi pertanian, juga mempercepat aksi meninggalkan pertanian oleh petani mengadu ke sektor lain. Pertanian, bukan lagi hal yang menjanjikan masa depan. Pertambangan liar menjadi salah satu tempat pelarian, ketika kebunnya tak lagi memberi cukup makan.
Baca juga:  Ambuguitas akan Identitas ke-Indonesiaan, Antara Fundamentalisme Spritual ataukah Liberalisme Sekuler?

Sebuah ironi terjadi di Bolaang Mongondouw, negeri yang pernah dijuluki “lumbung beras” Sulawesi Utara, ribuan warganya justru masuk hutan berburu emas di lubang-lubang maut. Sawah dibiarkan terbenam banjir atau kering tanpa cukup air. Oh, ternyata jaringan irigasi rusak karena banjir dan sawah pun dijual pada pemilik modal.

Bencana longsor di Bolmong cukuplah menjadi pelajaran dan peringatan, bahwa telah terjadi perubahan dan pergeseran sosial ekonomi masyarakat secara mendasar, tetapi pergeseran itu bergerak liar tak terkendali.

Sungguh ironis, sampai tahun 2019 ini, Sulut masih saja “sombong” dengan julukan sebagai daerah pertanian yang subur, daerah nyiur melambai yang indah. Padahal, ribuan petaninya meninggalkan kebun mengadu nasib dan masa depannya di lubang tambang sambil menyabung nyawa. Kita di Sulut masih saja “sombong” dengan daerah pertanian yang subur, tetapi ratusan ribu petani tak lagi memiliki lahan untuk bertani, karena tanah mereka diborong dan “ditidurkan” di bank oleh para elite.

Baca juga:  Jurani ‘Juara’ Rurubua

Tidaklah bijak setelah peristiwa longsor Bolmong ada yang menyalahkan para petambang memburu makan dan masa depan keluarganya di lubang-lubang tambang kendati tanpa izin. Adalah tidak bijak, melarang tanpa memfasilitasi pertambangan rakyat, sementara lahan pertanian mereka sudah berpindah tangan. Adalah sangat tidak bijak, jika rakyat yang mengadu nasibnya di lubang-lubang dihadang dan diburu dengan senjata laras panjang para aparat, sementara industri tambang moderen mendapat pengawalan aparat keamanan.

Pertambangan emas oleh rakyat di Sulawesi Utara, sesungguhnya adalah sebuah fenomena gunung es yang harus dicairkan. Tak cukup kita hanya melihat bencana tambang di Bolmong sebagai sebuah peristiwa alam semata. Sambil turut prihatin dan berduka atas musibah itu, saya mau menyebut peristiwa itu adalah, “Tragedi Petani Cari Makan Tertimbun di Pertambangan”. (Penulis adalah jurnalis senior/pemerhati sosial dan pembangunan)

 

 

Pos terkait