Oleh Sovian Lawendatu
UPACARA Mehebing Datu disebut-sebut sebagai salah satu budaya warisan leluhur masyarakat Sangihe. Mengikuti namanya, Mehebing Datu artinya ‘menobatkan raja’. Memang, pada zaman dahulu, sistem pemerintahan masyarakat Sangihe (secara kultural mencakup Sitaro) berbentuk kerajaan. Jadi, wajarlah, jika ada upacara Mehebing Datu dalam konteks kebudayaan leluhur masyarakat Sangihe.
Saya sendiri tidak tahu persis tata teknis upacara Mehebing Datu. Dokumen masa lampau, juga kajian ilmiah mengenai upacara ini tidaklah saya miliki. Dan saya kira, pada zaman sekarang, sangat mustahil untuk dilakukan semacam rekonstruksi terhadap hal-hal teknis pelaksanaan upacara tersebut tanpa dokumen masa lalu yang faktual dan relevan. Tanpa itu, tata teknis upacara Mehebing Datu yang mungkin ada saat ini kiranya sudah disesuaikan dengan protokoler pemerintahan modern.
Yang pasti, sebagai upacara Menobatkan Raja, Mehebing Datu merupakan suksesi politik feodalistik. Jadi, upacara ini tidak relevan dengan sistem pemerintahan demokrasi.
Dewasa ini, sistem pemerintahan feodalistik sudah ditinggalkan. Di Sangihe kini tidak ada lagi datu atau kulano (=raja). Pemimpin pemerintahan di Sangihe dewasa ini untuk kelas Bupati dan Kapitalaung dipilih secara demokratis.
Belakangan, seiring dengan kebutuhan pembangunan di sektor ekonomi pariwisata, maka ada pemikiran untuk ‘membangkitkan kembali’ upacara Mehebing Datu dalam bentuk pergelaran budaya. Ini hal yang postif belaka. Sama positifnya dengan lomba Memotong Tamo, misalnya.
Namun, manakala upacara Mehebing Datu dilaksanakan dalam kaitan dengan ‘syukuran’ pelantikan seorang Kapitalaung atau Bupati pilihan rakyat, maka upacara Mehebing Datu itu menjadi sebuah ironi demokrasi. Lebih ironis lagi, seandainya di balik penggelaran upacara itu terselip niatan politis. Misalnya agar masyarakat memperlakukan pemimpin pilihan rakyat itu selayaknya raja, sehingga anti-kritik, menguburkan budaya politik demokrasi. (Penulis adalah akademisi dan budayawan Sulut)