Enam Penyebab Petahana Bercerai Pada Pilkada Menurut Dr. Fery Liando

Fery Liando

indoBRITA, Manado – Pada tahun 2018 mendatang, terdapat enam daerah di Sulut akan melangsungkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak untuk memilih pemimpin masa kerja 2018-2023.

Dari sejumlah nama yang mulai dijagokan pada Pilkada di enam daerah yakni Minahasa, Minahasa Tenggara (Mitra), Kota Kotamobagu, Talaud, Sitaro dan Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), tak ada satupun kepala daerah serta wakilnya berpeluang berpasangan kembali.

Bacaan Lainnya

Terbukti, mulai ramai dibincangkan, keenam pasangan petahana mulai mencari pasangannya sendiri-sendiri atau partai politik yang mencarikan pasangan baru, untuk kemudian dicalonkan pada Pilkada 2018 itu. Dengan kata lain, akan terjadi persaingan antara kepala daerah dan wakilnya pada Pilkada nantinya.

Baca juga:  Pjs Bupati M20 Undang Tiga Pasangan Cakada, Jalan Sehat dan Pembagian Masker

Sindrom perceraian petahana menurut Dr Ferry Liando, pengamat politik Sulut karena dilatarbelakangi enam faktor. Ketidak harmonisan, haus kekuasaan, merasa domiman dan kepentingan maupun kegagalan partai politik (Parpol) menjadi rangkaian alasan sehingga petahana akhirnya bercerai.

“Beberapa sebab perceraian itu, pertama karena koalisi yang dibangun pada saat pencalonan Pilkada terdahulu bukan dibangun atas dasar kesamaan persepsi membangun daerah tetapi atas dasar saling memperkuat dukungan dari masyarakat. Jadi koalisinya sangat pragmatis, bukan sebagai dasar adanya stabilitas pemerintahan. Padahal dalam teori politik manfaat koalisi adalah adanya kesamaan persepsi bagaimana membangun sebuah daerah dan untuk adanya stabilitas pemerintahan,” kata Liando.

“Kedua, ada saat pemenangan calon di Pilkada, baik bupati maupun wakil bupati Sama-sama merasakan punya andil yang setara dalam memberikan kontribusi terutama soal materi. Ketiga, diantara kedua pihak, ada yang ingin mendominasi kekuasaan. Mulai dari penetapan pejabat, penentuan pemenagan proyek, monopoli fee proyek dan lainnya. Sehingga salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil. Keempat, tidak dilibatkannya peran wakil bupati dalam pengambilan keputusan strategis oleh bupati. Sehingga wakil bupati melakukan perlawanan,” sambungnya.

Baca juga:  Keren, 31 Januari 2018 Warga Bisa Menyaksikan Fenomena Supermoon

Lebih lanjut dikatakan akademisi Unsrat ini bahwa, faktor kelima adalah, adanya pihak ketiga yang berada di seputaran atau lingkaran bupati dan wakil bupati yang menginginkan keduanya konflik. Ketika konflik benar-benar terjadi, maka pihak provokator itu mendapat manfaat atas perbuatannya.

“Dan faktor keenamnya, perilaku parpol yang tidak mampu melahirkan calon pemimpin. Akibatnya menawarkan calon bupati kepada wakil bupati yang sedang menjabat. Jadi keduanya dipisahkan karena salah satunya ada parpol lain yang mencaplok. 6 hal ini yang menyebabkan tidak berlanjutnya pasangan petahana dan wakilnya pada periode selanjutnya,” ungkap Liando menutup.(wlk)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *