Oleh Rio Ismail
SETELAH berbagai upaya penggembosan KPK dari luar ditentang publik, kini penggembosan oleh para politisi busuk di DPR-RI memasuki babak baru. Dua hari silam (29/9/2017) Pansus Hak Angket KPK berhasil menghadirkan Direktur Penyidikan KPK, Brigjen (Pol) Aris Budiman bicara di dalam RDP yang penuh kontroversi. Proses ini menandai dimulainya babak penggembosan KPK secara terbuka dari dalam dan oleh orang dalam KPK sendiri.
Aris Budiman, seorang jenderal polisi yang memegang posisi penting di dalam KPK. Dia sebelumnya dinilai sebagai perwira Polri yang cemerlang. Muncul di hadapan Pansus Hak Angket KPK dengan ekspresi dingin, datang atas nama pribadi, namun mengklem bertolak dari “semangat korps Polri”. Sebelumnya Pimpinan KPK tidak memberinya izin untuk menghadiri undangan Pansus. Kepada Pansus yang menggunakan “teknik bertanya” ala para pengacara di sidang-sidang peradilan umum, Aris tidak hanya mengungkap hal-hal bersifat pribadi. Tapi malah sebaliknya “menelanjangi” apa yang dia sebut sebagai masalah yang ada di tubuh KPK tempat dia bertugas. Ini menunculkan kesan adanya konspirasi dengan Pansus yang memang ingin mebghabisi KPK.
Selain bicara di depan pansus, Aris juga diketahui telah melaporkan bawahanya sendiri, penyidik KPK senior Novel Baswedan ke polisi. Alasannya Novel melakukan pencemaran nama baik. Di tengah-tengah situasi di mana pimpinan KPK belum pernah mengklarifikasi temuan Pansus —yang sengaja dibocorkan terlebuh dahulu kepada publik dalam beberapa pekan ini— langkah Aris Budiman ini seperti makin memberi bara kepada Pansus. Juga makin melengkapi berbagai “upaya dramatik” para politisi di DPR untuk menggembosi KPK.
Saya melihat bahwa kecenderungan penggembosan KPK dari luar maupun dari dalam menjadi lebih intens dan sistemik sejak Kapolri Tito Karnavian dan Komisi III DPR-RI nenyepakati rencana pembentukan “Densus Anti Korupsi” dalam RDP 23 Mei 2017. Juga sangat dipengaruhi oleh dinamika kasus Novel Baswedan, terutama setelah Novel dari Singapura makin bersikukuh menyoal tidak clear-nya pengusutan dugaan keterlibatan seorang jenderal polisi dalam kasus kekerasan yang membuatnya harus menjalani perawatan berbulan-bulan.
Sulit untuk memastikan siapa aktor yang ada di belakang kecenderungan ini. Namun sehari-hari kita bisa menyaksikan dengan benderang adanya sejumlah politisi di DPR-RI —sebagai epicentrum korupsi skala besar di republik ini— terus-menerus berusaha “menggoreng” isu ini untuk mendelegitimasi KPK. Para politisi ini bahkan terkesan berupaya membenturkan KPK dan Polri. Alasan yang selalu digunakan tentu saja adalah bahwa KPK dibentuk untuk mengatasi kelemahan didalam kelembagaan kejaksaan dan Polri. Nah, ini tentu memunculkan pertanyaan, apakah rencana pembentukan Densus anti Korupsi di tubuh Polri adalah isyarat bahwa umur KPK akan segera diakhiri dengan pembabaran “fakta ketidakberesan KPK” sebagai alasan pembenar?
Bahwa KPK perku dibenahi secara institusional agar menjadi lebih kuat, itu adalah keniscayaan. Sebab tantangan perkembangan jaman memang menuntut perlunya penguatan KPK. Namun demikian, secara moral-etik sulit untuk menerima pembenaran apapun terhadap apa yang disebut sebagai kelemahan —atau sebutlah itu kebobrokan KPK— karena klaim fakta dan “kebenaran” itu justru bersumber dari Pansus di DPR yang selama ini menjadi bagian dari matarantai kejahatan korupsi.
Bagaimana mungkin KPK bisa diperkuat hanya dengan menggunakan alasan atau argumen dan fakta-fakta yang bersumber dari Pansus yang ada di lingkar inti jaringan korupsi dan ingin menggembosi KPK? Mungkinkah mereka yang sedang ditelisik keterlibatannya dalam korupsi ingin memperkuat lembaga anti rasuah? Atau, mungkinkah hanya dengan menghadirkan kelembagaan “Densus anti Korupsi” maka peran KPK harus dipangkas?
Jika ingin menghentikan pergerakan korupsi, maka KPK harus mendapakan dukungan untuk menangkapi bandit-bandit koruptor di DPR-RI. Kalau KPK yang ingin diperkuat, maka mestinya proses evaluasi terhadap kinerja KPK tidak dilakukan oleh para politisi yang memiliki kepentingan politik yang diametral dengan mandat KPK. Selayaknya proses evaluasi dilakukan oleh tim independen yang berisi orang-orang kredibel yang disepakati bersama oleh KPK dan DPR. Hasil bisa dipastikan tidak akan kontroversial dan menguras emosi publik seperti saat ini.