#HOAX…HOAX…….HOAX..

Donny R Lumingas (foto: dok fb)

Catatan Ringan Virus Medsos

(Donny R Lumingas)

Bacaan Lainnya

DALAM periode waktu dua sampai tiga tahun belakangan hoax begitu familiar di telinga. Namun begitu meresahkan bagi mereka yang di serang hoax. Dalam kamus Inggris-Indonesia, hoax berarti cerita bohong, olok-olok, merperdayakan.

Hoax menjadi laris manis tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh belahan dunia. Orang rupanya lebih suka memanfaatkan sisi negatif kemajuan teknologi dari menjaga sisi positifnya. Entah sudah berapa banyak orang yang jadi korban hoax dan berapa banyak si tukang hoax. Walau pemerintah juga telah berupaya memerangi hoax. Presiden Jokowi menganggap hoax sudah meresahkan dan mengancam keutuhan negara.

Hoax sudah meresahkan dan mengancam kehidupan yang damai dan persatuan di Indonesia. Hoax bisa berujung pada konflik dan perpecahan. Dalam memori saya hoax mulai menggila saat pesta demokrasi di negara ini. Apa itu pileg, pilpres dan pilkada.

Cara yang tidak sehat ini menjadi senjata mematikan dalam meraih kemenangan. Di satu sisi hoax menjadi virus dunia media sosial. Silaturahmi bisa berujung benci. Saling serang dengan fitnah bahkan umpatan dan makian jadi pemandangan biasa. Orang Indonesia yang dulu di katakan ramah tamah, sopan santun, toleran berubah beringas, kasar dan seolah tak beretika.

Hoax (berita bohong) menurut Jenderal A. H. Nasution yang muat majalah historia menjadi “senjata” intelegen Belanda di jaman revolusi sebagai serangan psikologis kepada kaum republikan (rakyat dan pejuang) yang melawan Belanda di wilayah Bekasi.

Kalau dalam perang modern hoax itu bisa di katakan salah- satu cara proxi war. Yaitu menyerang negara lain bukan dengan tempur persenjataan, tapi dengan memanfaatkan pihak ke tiga yang tidak sadar sudah menjadi proxi. Soal proxi war, Bung Karno dulu sudah mengingatkannya, dan sekitar tahun 2015 atau 2016 menjadi populer lagi setelah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantio kembali mengungkapkannya.

Baca juga:  Kaleidoskop Maurits Mantiri-Hengky Honandar; Kota Digital, Solusi Bitung Maju

Hoax juga sempat menjadi “senjata” penguasa di jaman orde baru untuk menyerang aktivis mahasiswa. Saat ini hoax masih ampuh untuk mengadu domba, bahkan jadi bisnis moncer walau tak beretika. Serangan psikologis memang dampaknya kadang lebih menyiksa dari serangan fisik.

Saat ini hoax begitu favorit di media sosial. Setiap orang dengan gampang tanpa ada rasa tanggung jawab menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Tidak hanya menyebar tapi mengedit seolah-olah itu informasi darinya. Tak menutup kemungkinan ada juga yang memang sudah mati rasa, karena terlalu sering menahan atau menikmati rasa.

Semakin banyak yang like semakin berbunga bungalah si penyebar hoax. Pokoknya eksis abis. Celakanya si penyebar berita dan penikmat hoax sama-sama lagi mabuk hoax. Dalam hitungan menit suatu berita bisa jadi viral. Luaaarrrr biasaa. Cara instan jadi top. Entah karena pengaruh suka makan mie instan, atau memang keenakan dengan cara instan.

Penggiat hoax begitu fariatif, dari yang mencari eksistensi di dunia maya karena susah eksis di dunia nyata, pebisnis hoax untuk menjaga eksistensi aroma sedap di dapur, dan ada juga yang hatinya sudah mati walau secara fisik masih hidup. Mereka akan senang bila racun kebencian di minum dengan nikmat menyebar menggangu kedamaian.

Baca juga:  Memahami dan Menyelami Masalah Konflik Agraria di Sulawesi Tengah

Masih ada juga kelompok-kelompok kepentingan lain yang berenang di medsos dengan jurus hoax. Ada kelompok ideologi yang memang gagal move on dengan Pancasila sebagai dasar negara. Ada kelompok kepentingan politik, meraih simpati untuk iven pilkada, pileg atau pilpres. Biasa…..investasi hat murah meriah.

Dengan hoax mereka, mendapatkan untung. Bukan hanya menjual kebohongan tapi menyebar kebencian. Namun paling takut kalau di benci gara-gara hoax. Aneh memang. Tapi keanehan memang sekarang menjadi daya pikat luar biasa. Makin aneh yang dilakukan makin menarik. Bukan lagi aneh tapi nyata. Tapi yang aneh itu adalah cara sederhana meraih popularitas dan keuntungan.

Balik lagi di awal catatan ini. Bila hoax itu adalah senjata intelegen Belanda menyerang kaum republikan, berarti secara tidak langsung sang hoaxker adalah penerus tak tik kolonial. Sedangkan korban hoax adalah korban karena menggunakan cara-cara kolonial. Lalu buat apa mengaku Indonesia kalau masih “mengabadikan hoax”.

Semoga tidak semakin banyak yang tersakiti jiwanya karena hoax, apalagi sampai jadi pasien rumah sakit jiwa. Kita doakan yang memproduksi hoax segera bertobat, kalau tak mau dikatakan sakit jiwa, walau sebenarnya berpotensi sakit jiwa.

Hoax tak usah ditakuti asal kita tak jadi bagian dari hoax. Yang masih sehat jiwanya pasti mampu mengontrol pikiran, menahan emosi, mengendalikan jari tangan agar tidak menjadi jari kaki. Hoax, hoaaxx, hooooaxxxxx, hoaaayaamm. Ngantuk bicara hoax* (Penulis adalah Redaktur Senior IndoBRITA.Co, Mantan Sekjen DPP GMNI, Tinggal di Jakarta)

Pos terkait