IndoBRITA, Manado—Tren peningkatan jumlah pemakai narkoba di Sulut tidak semata membutuhkan pencegahan. Para hakim di tingkat pertama dan banding disarankan mengirim para pemakai narkoba ke panti rehabilitasi. Saran ini disampaikan Ketua DPP Pelopor Angkatan Muda Indonesia (PAMI-P) Noldy Pratasis.
Ia mengatakan, kondisi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sudah tidak mendukung lagi.
“Kami meminta agar para hakim sedapat mungkin tidak buru-buru memvonis terpidana pemakai narkoba untuk dijebloskan ke penjara. Melainkan bisa dikirim ke Panti Terapi atau Rehabilitasi,” kata Pratasis.
Penjelasan ini sesuai, petunjuk Mahkamah Agung. Dasar hukumnya sebut Pratasis, UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur hal itu.
“Pasal 41 UU Psikotropika menyebutkan ‘Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan’. Sedangkan Pasal 47 ayat (1) UU Narkotika menyatakan Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pelaku terbukti bersalah,” sebutnya.
“Masa di panti rehabilitasi ini harus dihitung juga sebagai masa menjalani hukuman. Bila pecandu narkotika tak dinyatakan bersalah, hakim juga dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pecandu narkotika itu dikirim ke panti rehabilitasi,” sambung Pratasis.
Adapun syarat yang dapat memungkinkan pemakai narkoba direhabilitasi, yakni terdakwa pada saat ditangkap oleh petugas dalam kondisi tertangkap tangan. Kedua, saat tertangkap tangan, ditemukan barang bukti satu kali pakai.
“Minimal ada pipet atau bong dan narkotika sisa pakai,” singgung Pratasis.
Ketiga, yakni surat keterangan uji laboratoris positif menggunakan narkoba berdasarkan permintaan penyidik. Keempat, bukan residivis kasus narkoba. Menyusul surat keterangan dari dokter jiwa atau psikiater (pemerintah) yang ditunjuk oleh hakim. Dan terakhir tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi pengedar atau produsen gelap narkoba.
Syarat ini katanya, sesuai Surat Edaran MA No 7 Tahun 2009. Lanjut Pratasis, MA punya alasan yang masuk akal. Pertama, mayoritas para narapidana kasus narkoba termasuk pemakai yakni sebagai korban, yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit.
“Oleh karena itu, memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan,” terang Pratasis.
Kedua, lanjut Pratasis, kondisi Lembaga Permasyarakatan (Lapas) saat ini juga sudah tidak mendukung.
“Bila narapidana narkoba digabung dengan tahanan kriminal lainnya, dikhawatirkan semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan kesehatan. Kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat,” ujarnya.
Bukan tidak mungkin tambah Pratasis, di Lapas pemakai narkoba malah bertambah karena faktor interaksi dengan napi-napi dari pidana umum. “Itu kekhawatiran kita,” tandas Pratasis.(hng)