(Catatan pinggir : Donny Lumingas)
CATATAN pinggir kali ini, hasil daur ulang catatan pinggir sebelumnya “Sedikit Tentang Derek Manangka”. Catatan pinggir berasal dari orang suka duduk di pinggir saat bepergian. Apalagi kalau perjalanan jauh naik mobil, “dunia bisa terbalik” bila tempat duduknya di tengah.
Sabtu (26/5/2018) saat sedang mengikuti acara kantor, tiba-tiba masuk kabar duka lewat messenger, RIP Derek Manangka. Spontan jari-jari ini mengetik catatan pinggir : Sedikit Tentang Derek Manangka (DM).
Benar ucapan bahwa kehebatan, kebaikan seseorang akan kita ketahui bukan di saat orang itu masih hidup, tapi ketika dia telah menyelesaikan pertandingannya dalam sekolah kehidupan.
Jeffrey Rawis mengenang DM sebagai jurnalis konsisten, berani dan tidak takut teror. Sementara Ferry Rende mengingat saat diminta mempersiapkan perekrutan jurnalis baru.
Inyo Rumondor, satu dari kwartet Sulut yang pernah berkiprah di Media Indonesia (Derek Manangka, Jeffrey Rawis, Ferry Rende, Harry Inyo Rumondor), mengakui insting jurnalis DM. Dia bingung gurunya tahu akan ada demo di kantor, padahal lagi di Israel untuk wawancara PM Simon Peres. Saat itu kemajuan informasi tidak semudah sekarang.
Satu kesaksian lagi, saya terima Senin (28/5/2018) dari wartawan senior Kompas “Tonaas Istana” Bung J D Osdar, begitu sapaan Derek Manangka terhadap sahabatnya yang mengaku mulai berpikir tentang jurnalis ketika bertemu di atas mobil Bemo pertengahan 1970-an di Kota Manado.
Derek Manangka tidak pernah merasa diri sebagai orang penting. Kenal dan bersahabat dengan tokoh nasional dan dunia tetap membuat DM, setia dan konsisten berkarya di jalur jurnalis. Bung Osdar menceritakan bagaimana Bambang Soesatyo, Ketua DPR RI, tak mampu menahan tangis ketika menelepon. “Os sahabat kita telah tiada,” ujar Bamsoet, ‘murid DM’.
Bamsoet mulai mengenal dekat lelaki kelahiran Warisa dekat Bandara Internasional Sam Ratulangi sejak tahun 1986. Kesetiaan Derek Manangka pada dunia pers terus dilakukan, termasuk menjelang kepergiannya, lewat Catatan Tengah.
Derek Manangka juga termasuk saksi sejarah ketika situasi genting di masa menjelang dan saat peristiwa reformasi 98. Bung Derek mantan berkesempatan mewawancara Presiden Soeharto.
Beruntung tahun 2003 saya beberapa kali bertemu Bung Derek. Satu waktu ketika saya dan beberapa kawan mau diskusi dengan Bang Taufik Kiemas (TK) sebagai guru dan sahabat Bung DM. Bang TK memperkenalkan saya. “Derek ini Donny Sekjen GMNI sekarang, “ujar Bang TK. “O..selamat Don, jang bekeng malo Kawanua, “balasnya sambil menjabat tangan saya.
Setelah itu sangat jarang bertemu beliau. Kalau bertemu lewat catatan tengah, yang sebenarnya jadi awal motivasi saya menulis catatan pinggir.
Salah satu catatan tengah yang menginspirasi adalah pertemuan empat anak mantan presiden RI. Foto AHY, Puan, Yeni dan Ilham yang berselfie ria, menjadi penyejuk dahaga akan persatuan di tengah degradasi nasionalisme akibat panas dinginnya iklim politik tanah air.
Bung Derek membuat foto kiriman sahabatnya menjadi sarat akan pesan kebangsaan. Ketika perbedaan mulai jadi barang langka, sumbu pendek dan baperan semakin diminati, tulisan empat anak mantan Presiden jadi interupsi yang bernilai.
Catatan tengah menjadi ruang inspirasi akan nilai nilai keragaman, kecintaan terhadap negeri, dan bagaimana menegur tanpa menyalahkan, mengkritik tanpa mempermalukan, berbeda tanpa bermusuhan.
Kita tak pernah tahu kapan akan di panggil pulang Yang Maha Kuasa Sang Pemilik napas kehidupan. Karena itu teruslah melayani, selagi masih kuat, selama napas kehidupan belum dicabut Pemilik Napas Kehidupan.
Senior Derek Manangka sudah memanfaatkan kesempatan hidup dengan hal baik. Perbuatan baiknya akan menjadi cahaya bagi mereka yang memaknai hidup. Salam hormat Pejuang.***
(Donny Ronald Lumingas adalah Redaktur/Kepala Biro IndoBRITA Media Group Jakarta. Penulis juga Mantan Sekjen DPP GMNI)
