(Renungan Hari Lahirnya Pancasila)
Oleh Kristiya Kartika
SETIAP menjelang tanggal 1 Juni, harus diakui bangsa ini memasuki suasana kebatinan tersendiri. Kita kerap menyaksikan betapa semangatnya bangsa ini memperingati hari Lahirnya Pancasila, yg merupakan saat bersejarah tatkala Pidato resmi Bung Karno didepan sidang PPKI dikumandangkan. Tapi menyongsong 1 Juni 2018 ada makna tersendiri yang cukup mendalam.
Sejak tanggal 1 Juni 2016, Pemerintah menetapkan setiap tanggal 1 Juni diperingati secara resmi sebagai hari lahirnya Pancasila. Sebuah badan resmi pemerintah telah dibentuk yaitu Badan Pembinaan Idiologi Pancasila ( BPIP), sebagai manifestasi kesungguhan untuk mengkristalisaikan sikap bangsa ini terhadap perumusan Pancasila oleh Bung Karno.
Tentu secara eksplisit tugas badan tersebut bertanggungjawab atas rumusan yang benar, kontekstual, historical, penafsiran yang kredibel, bahkan implementasi atau pembumian Pancasila. Dengan policy Pemerintah ini, idiologi negara kita semakin kokoh tapi tetap harus antisipatif pada perkembangan keadaan.
Tahap yang perlu dilakukan adalah pengkajian implementasi nilai-nilai dasar Idiologi Negara pada kondisi aktual saat ini, dengan merumuskan nilai-nilai instrumen yang kondusif dan peka pada kemajuan zaman, khususnya perkembangan teknologi informasi.Disamping itu, suasana 1 Juni 2018 juga memiliki “keistimewaan” tersendiri, karena aroma terorisme masih hangat terasakan.
Paling tidak ada dua peristiwa kekerasan yang terjadi pada beberapa Minggu sebelum 1 Juni 2018 yaitu penyerangan terhadap Polisi di Mako Brimob Depok dan pemboman di tiga lokasi Gereja di Surabaya. Kedua peristiwa itu seolah semacam peringatan bagi kita semua agar jangan main-main dengan isu-isu maupun gerakan-gerakan yang mencoba meremehkan bahkan merobek kebersamaan kita sebagai bangsa, dengan melakukan berbagai aktivitas yang mengingkari bahwa kita ini terdiri dari berbagai Agama, Ras, Suku, dan keyakinan yang berbeda.
Menyelaraskan semua perbedaan itu tidak bisa dengan upaya pemaksaan dan kekerasan. Bangsa ini berdiri dan maju karena perbedaan- perbedaan itu. Dan harus diakui “alat” ampuh untuk menyelaraskan perbedaan- perbedaan itu adalah idiologi negara Pancasila. Begitu ada sekelompok masyarakat yang memaksakan kehendaknya dengan meremehkan peran Pancasila sebagai pemersatu, pasti akan ada kejadian yang tidak menyenangkan.
Dari dua hal yang melatar belakangi peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni 2018 itu, kita perlu memanfaatkan momentum 1 Juni 2018 untuk melakukan kontemplasi menuju masa depan yang lebih menggairahkan.
PROGRAM YANG “CREDIBLE” DAN “APPLICABLE”.
Seharusnya diskusi tentang berbagai versi rumusan Pancasila dan penafsirannya yg sering dikemukakan pada masa lalu sudah tamat. Masyarakat perlu didorong dan dirangsang secara serius bagaimana memanfaatkan perkembangan era terbaru ini untuk memajukan industri yang mampu mengangkat baik kualitas maupun nilai ekspor kita ke seluruh belahan dunia. Tujuan akhir adalah terbangunnya masyarakat Indonesia yang tegar, segar, dan makmur serta cerdas.
Substansinya, bagaimana mendorong generasi milenial yang saat ini dan beberapa tahun kedepan mendominasi segmentasi kependudukan Indonesia menjadi lokomotif perubahan menuju penguasaan teknologi dan bermanfaat kongkrit bagi tangguhnya ekonomi Rakyat. Justru tidak menjadi pasar utama produk-produk asing.
Lapis generasi ini tepat bila diberikan fasilitas-fasilitas segar untuk terus menggeluti dunia komputer sehingga kelak menjadi ahli-ahli Programmer dan Arsitek Program dengan berbagai Aplikasi yang bisa membantu secara kongkrit masyarakat. Bukan hanya sekedar menjadi Operator Program yang sebagian besar menguntungkan promosi produk-produk asing.
Jika ini bisa berjalan dengan kondusif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat paling tidak ada dua manfaat langsung yg diperoleh. Pertama, ada keyakinan penuh dari generasi millenial bahwa sesungguhnya Pancasila yang digagas dan disampaikan oleh Bung Karno memiliki nilai aktualitas, progresivitas dan agresivitas dalam memahami dan menstimulasi geliat ekonomi baru agar memiliki “added values” yang tetap dalam koridor idiologis.
Kedua, adagium yang menyatakan bahwa Indonesia dalam waktu dekat menjadi “the big five” ekonomi dunia benar-benar terjadi, tetapi dengan merubah “mindset”, agar menjadi pasar terbesar produk-produk dalam negeri yang sudah masuk kriteria industri. Generasi ini harus didorong dan difasilitasi oleh Negara agar bergairah menguasai berbagai aspek teknologi yang menjadi pilar munculnya produk-produk dalam negeri yang handal dan dibutuhkan masyarakat dinegara-negara lain.
Jalan menuju arah itu dilakukan dengan merekayasa bahan-bahan alami menjadi produk-produk industri yang benar-benar diperlukan pasar dunia dan mendesain pengalaman mengelola bumi Nusantara dibidang kelautan, energi, transportasi kelautan dan daratan guna ditransformasikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di negara lain. Kemungkinan itu sangat besar, dengan telah didalaminya oleh kaum intelektual dan profesional kita dalam mendesain alat-alat produksi, sarana transportasi dan produk-produk strategis lainnya, melalui pemanfaatan program “Artificial Intelligence-AI” ( kecerdasan buatan).
Misalnya, seperti pernah ditulis oleh Guru Besar ITS, Djauhari Manfaat tentang desain, yg secara substansial dikatakan telah ditemukan pendekatan desain rekayasa yang lebih effektif dan efisien yang dikenal dengan “Case-Based Design” dengan menggunakan teknik Artificial Intelligence yaitu “Case-based Reasoning”. Intinya, pendekatan teknik ini memiliki keunggulan-keunggulan yakni membutuhkan waktu yang singkat dalam penyusunan desain, mengefisienkan tugas desainer dalam mengerjakan desain, serta lebih dekat dengan keinginan pihak Pengguna Jasa.
Implementasinya menjangkau berbagai bidang aplikasi, seperti desain kapal, mechanical parts, manufaktur, arsitektur, civil engineering, lay out pabrik dan lain-lain.
Pendekatan ini menghasilkan efisiensi biaya dan terpenuhinya kepuasan Pelanggan yang bisa menopang untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ekspor. Temuan-temuan bidang lain yang mengandalkan “kecerdasan buatan” ini bisa dan sudah banyak dihasilkan oleh generasi milenial, termasuk dibidang E-business.
Kedepan Negara dan kita semua perlu serius merangsang generasi millenial untuk memperluas temuan-temuan pendekatan aplikasi baru sebagai bentuk implementasi berbagai disiplin keilmuan. Bukankah Indonesia telah menjadi salah satu pasar terkuat produk-produk komputer dunia ? Kondisi pemanfaatan komputer sebagai elemen hardware untuk dipakai lahirnya penemuan atau pengembangan software yang produktif tidak konsumtif, harus dipicu melalui media strategis kampus-kampus dan aktivitas Riset-Teknologi.
Biaya kearah itu perlu diekplisitkan oleh Negara agar lebih besar, lebih meluas dan lebih merata serta mencapai hasil optimum. Ini juga bermanfaat agar kampus tidak disentuh oleh kelompok yang kerap memproduksi kekerasan yang dilandasi ekstrimisme dan sektarianisme, karena Negara telah menyentuh dengan serius dan tidak tendensius belaka. Kampus harus tetap melahirkan insan-insan akademis yang kritis, kreatif, mandiri tapi tetap memiliki nilai-nilai sosial yang khas Indonesia serta menolak kekerasan.
IKLIM SOSIAL DOMESTIK YANG MENENTUKAN KEMANDIRIAN.
Way of life komunitas sangat menentukan keberhasilan mencapai masa depan. Bangsa ini telah beratus-ratus tahun merasakan sebuah kehidupan yang serba berbeda. Agama, suku dan Ras yang penuh warna sudah terbiasa dalam masyarakat Indonesia sejak masa kolonial. Gaya hidup dan perilaku penuh nuansa menjadi fenomena yang bisa dilihat dan dirasakan setiap saat.
Tetapi sebagaimana diakui para Sarjana Ilmu Sosial, sesungguhnya rekayasa sosial bisa dilakukan dengan menghadirkan kebiasaan dan tradisi berbeda secara masif. Jika itu dilakukan intensif dalam kurun waktu yang lama secara konsisten, akan terjadi sebuah perubahan nilai-nilai sosial yang bermuara pada terjadinya perubahan sosial.
Perubahan sosial ini menjadi dasar utama dari way of life. Dengan demikian way of life sebuah bangsa bisa berubah jika terjadi perubahan sosial yang diawali perubahan nilai-nilai sosial di masyarakat. Padahal dalam way of life terpancar kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dikelak kemudian hari atas komunitas bangsa tersebut.
Revolusi informasi mempercepat terjadinya perubahan way of life suatu bangsa. Bahkan dengan kemajuan-kemajuan yang luar biasa dibidang teknik informatika, kini kita pun sudah sangat jarang membicarakan way of life bangsa ini.
Yang kini sedang terjadi sesungguhnya, seperti dikatakan para ilmuwan dan pengamat sosial, bahwa era globalisasi saat ini antara lain ditandai bahkan diwarnai oleh hilangnya realitas sosial, sehingga sekedar menjadi mitos dari nasionalisme, persatuan, kesatuan dan solidaritas serta integrasi. Bermacam-macam realitas sosial dalam skala global, khususnya akibat kemajuan luar biasa teknologi komunikasi, mendorong kearah akhir sosial.
Menurut Toyraine dalam tulisannya “Two interpretations of Social Change”, kehidupan sosial kini telah kehilangan kesatuannya, dan ia kini tak lebih merupakan sebuah arus perubahan yang tak pernah berhenti, yang didalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial, akan tetapi mengikuti strateginya masing-masing dalam berperan didalam proses perubahan ( kapitalisme global ), yang tidak dapat lagi sepenuhnya dikontrol oleh kekuasaan Negara.
Realitas ini mutlak harus diimbangi dengan aktivitas berbagai komunitas sosial yang tetap dalam koordinasi Negara agar batas Sosial tidak lenyap. Negara memegang peran penting dalam menjaga kebersatuan masyarakat dalam berbangsa serta bernegara.
Dan untuk itu Negara perlu memiliki kredibilitas yang tinggi dimata masyarakat sehingga gema yang ditimbulkan dari aktivitasnya berbekas serta berkesan untuk menjadi perekat serta pemicu kebersatuan dan kemajuan bangsa ini. Modal utama Negara, mensosialisasikan atau membumikan Pancasila ke masyarakat terutama melalui perilaku Negara, baik program-program resmi yang menguntungkan rakyat, maupun perilaku “credible” dari pribadi-pribadi yang dipercaya sebagai pengelola Negara.
Begitu pula Negara wajib merumuskan nilai dan norma sosial yang memiliki kandungan sila-sila Pancasila dengan merumuskan nilai-nilai instrumen aktual guna menyongsong era industri yang merupakan sebuah keniscayaan. Iklim domestik menentukan kearah mana Rakyat Indonesia akan melangkah menyongsong masa depan, ditengah arus globalisasi.
Sebuah ujian didepan mata, masihkah Rakyat mengikuti nilai-nilai dan norma-sosial berdasarkan Pancasila ? Atau tergantung pada nilai-nilai dan norma-norma sosial yang menguntungkan pribadi, meskipun bukan bersumber dari Pancasila ?! Mari kita renungkan agar Negara segera berbuat nyata, menuju Kemandirian Nasional !!! *************
———————
*). KRISTIYA KARTIKA, Mantan Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI), kini Ketua Dewan Kehormatan Nasional Inkindo (Ikatan Nasional Konsultan
Indonesia). Pendidikan terakhir, lulus Program Doktor dari Faculty of Graduates School of
Business, San Beda College, Manila (2009).