indoBRITA, Manado – Peraturan KPU yang memasukan daftar pemilih dari warga binaan pemasyarakatan (WBP) Rutan Klas IIA Manado ke wilayah Minahasa dianggap bisa berubah dan bukan mustahil.
Optimisme itu disampaikan Hut Kamrin, salah satu warga binaan rutan. Kata dia, sepanjang ada komitmen penyelenggara Pemilu agar tidak mengamputasi hak konstitusi WBP, kebijakan itu sifatnya dinamis dan temporal.
“Tentu yang harus dipahami, bahwa dalam konteks suksesi Pemilu, tidak usah ambisius, tidak usah ribut-ribut di internal KPU untuk mengklaim wilayah penyelenggaraan,” singgung Kamrin.
Ia menjelaskan, argumen KPU di atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2014 mengenai administrasi teritorial Rutan Manado, tidak perlu dikonfrontasikan dengan urusan penyaluran hak pilih.
Termasuk menurut Kamrin, analogi Rutan Manado dan Universitas Negeri Manado, merupakan sebuah komparasi yang keliru secara substansial.
“Itu masalah nomenklatur sebuah institusi. Unima itu, lembaga pendidikan yang tidak mengikat sivitas akademika dalam sebuah rumah bina atau domisili. Mahasiswanya datang dan pergi dari berbagai kota/kabupaten. Tidak terikat teritorial. Tapi Rutan Manado itu, rumah bina WBP sementara waktu. Jadi singkirkan dalih nomenklatur institusi,” jelas Kamrin.
Urusan yang krusial dan harus direspon KPU RI kata dia, bahwa ratusan WBP pemegang KTP Manado dan Minahasa Utara menuntut hak konstitusi untuk menyalurkan pilihan dari tingkat bawah DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi Sulut dan DPR RI.
Kemudian DPD RI dan Presiden-Wakil Presiden. Hak yang menurutnya, utuh dan bukan sepotong-sepotong. KPU diminta tidak mengabaikan tuntutan warga binaan karena menyangkut hak asasi warga termasuk komitmen mewujudkan mutu demokrasi.
Lanjut dia, tanpa bermaksud mereduksi Permendagri 2014, mantan Pemimpin Redaksi (Pemred) ini mengisyaratkan satu hal yang menunjukan relativitas penegakan Permendagri 2014 dalam konteks pemilihan umum termasuk Pilkada.
“Waktu Pilkada Minahasa 2018 silam, pernakah KPU Minahasa menyadari bahwa Rutan Manado masuk wilayah teritorial Minahasa? Kan tidak digelar Pilkada di sini,” singgung Kamrin.
Alasan lain, bahwa keberadaan pemilih yang sudah berpindah, tidak menjadi alasan KPU untuk memotong begitu saja hak pilih di tingkatan DPRD.
“Jadi bukan administrasi teritorial dan nomenklatur sebuah institusi yang disoal. Tapi keutamaan kebijakan penyelenggara Pemilu yang memahami bahwa hak pilih warga negara itu adalah produk sebuah keyakinan pemilih, mengenai sosok yang akan berjuang, bekerja di semua tingkatan legislatif. Pemimpin yang dia pilih, calon legislative yang dia coblos itu, adalah garapan atas dasar keyakinan. Dan itu harus diberi kesempatan melalui penyediaan daerah pemilihan (dapil) yang sesuai KTP, surat suaranya ada dan calonnya tertera di dalam,” jelas Kamrin.
Sederhananya, lanjut Kamrin, KPU dapat membuat diskresi (kebijakan) atau lebih spesifik sebuah opsi teknis yang terukur, representatif dan akomodatif.
“Masalahnya sepele. Mau nggak KPU bikin diskresi atau opsi teknis. Buatlah aturan turunan yang lebih spesifik dalam suasana demokrasi. Katakan kami ini pemilih pindahan. Saya kira ini soal kemauan KPU saja,” tandas pria yang merasa janggal dengan aturan KPU soal teritori pemilihan itu.
Ia berharap, pihak penyelenggara menyadari administrasi teritorial tidak boleh didudukan di atas hak konstitusi warga negara Indonesia, atau setidaknya negara hadir dan memberikan jaminan hak pemilih tanpa dalih nomenklatur institusi.
“Mudah-mudah KPU tidak cuma cerdas, tapi hebat setelah memastikan ratusan WBP berhak mencoblos semua tingkatan legislatif dan kembali memilih di wilayah Manado, seperti yang doeloe,” tandas Kamrin.
Diketahui, jumlah narapidana dan tahanan Rutan Manado sekira 587 orang, Dari jumlah itu, lebih dari 500-an orang masuk daftar pemilih daerah pemilihan asal (sesuai KTP) masing-masing, Sayangnya, jumlah tersebut tidak diberi kesempatan untuk menyalurkan suara dalam pemilihan DPRD Kabupaten/Kota bahkan di Kabupaten/Kota asal. (Kam)