Oleh Andris Lawani
INDONESIA berduka, adalah kalimat yang pantas untuk mewakili gambaran perasaan Indonesia hari ini setelah kehilangan salah satu putra terbaik bangsa yang telah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
Bacharuddin Jusuf Habibie, terpilih menjadi Presiden Indonesia yang ketiga saat runtuhnya masa Orde Baru, kemarin tanggal 11 September 2019 pukul 18.03 WIB telah tutup usia. Setelah diumumkan secara resmi tentang kepulangannya ke hadirat Tuhannya, Pemerintah Pusat pun segera mengintruksikan pengibaran Sang Saka Merah Putih setengah tiang sebagai bentuk penghormatan kepada BJ Habibie sekaligus pertanda duka buat Indonesia.
Pengibaran bendera setengah tiang atas meninggalnya Habibie bukan hanya karena beliau pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia yang ketiga. Tapi, yang terpenting dari itu karena banyak hal yang sudah beliau persembahkan untuk Indonesia, juga untuk dunia, terutama dalam bidang tekhnologi dengan menemukan “crack” pada sayap pesawat terbang. Penemuan itu pula yang akhirnya digunakan oleh semua maskapai pesawat terbang di seluruh dunia. Jadi tidak heran, ucapan bela sungkawa pun datang dari berbagai belahan dunia untuk menghantarkan kepergiannya.
Intruksi Pemerintah Pusat ini pun langsung ditanggapi oleh daerah-daerah, terkhusus Gorontalo sebagai daerah tempat Habibie berasal –termasuk Pare Pare yang juga tempat dia tumbuh besar. Bapak Gubernur Gorontalo yang juga merupakan keluarga dari BJ Habibie, misalnya, ikut melayat saat menghantarkan BJ Habibie ke tempat peristirahatannya terakhir. Begitu juga dengan bapak Walikota Gorontalo yang secara resmi atas nama Pemerintah Kota Gorontalo, menghimbau kepada seluruh masyarakat kota Gorontalo dan dewan adat, untuk melaksanakan shalat gaib dan mendoakan beliau. Belum sampai di situ, Pemerintah Provinsi Gorontalo lewat intruksi Gubernur, memerintahkan instansi-instansi pemerintahan, dewan adat, tokoh masyarakat Gorontalo, dan masyarakat Gorontalo agar melakukan doa dan tahlilan bersama di rumah dinas Gubernur selama tujuh hari berturut-turut.
Gorontalo, sebagai daerah yang erat kaitannya dengan historis masa kecil Habibie, sudah sepatutnya benar-benar merasa kehilangan atas kepergiannya. Apalagi, BJ Habibie –sebelum menginggal— dianugerahi gelar adat “Pulanga” dari Dewan Adat dan Pemangku Adat di Lima Kerajaan Gorontalo (Limo Lo Pohala’a) sebagai Ti Tilango Madala/Ta’uwa Lo Madala (Cahaya Negeri) karena sepak terjang pengabdiannya untuk agama, bangsa, dan negara, sudah memenuhi enam aspek yang ditetapkan oleh dewan adat; (1) Pahawe (budi pekerti), (2) O’oliyo’o (tindak tanduk/sikap), (3) Motonggolipu (kebijaksanaan dalam pemerintahan), (4) Motolongala’a wolo tuango lipu (bermasyarakat), (5) Motolo agama (rajin dalam kegiatan keagamaan) dan (6) Ilomata (karya-karya yang berguna untuk orang banyak).
Hal yang berbeda terjadi dengan Pemerintah Kabupaten Boalemo sebagai bagian dari Gorontalo. Di mana daerah lain melalui kepala daerahnya berinisiatif memberikan ucapan bela sungkawa dan mengajak masyarakat untuk melakukan doa bersama sebagai bentuk penghormatan kepada penerima gelar adat tertinggi Gorontalo, di Pemerintahan Boalemo hal tersebut tidak ditemukan. Memang, penulis menyadari almarhum BJ Habibie tidak butuh itu semua. Beliau sudah tenang di alam sana.
Tapi, sebagai rakyat Boalemo saya merasa hal tersebut sangat tidak pantas. Karena tidak mungkin kita melupakan sejarah Boalemo terbentuk dan resmi menjadi sebuah kabupaten melalui Keputusan UU 50/1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Boalemo lewat lembaran negara yang ditanda tangani Pak Habibie selaku Presiden saat itu.
Kejadian terbalik malah diperlihatkan oleh Presiden Pertama Timor Leste, Xanana Gusmao, saat menjenguk BJ Habibi yang terbaring sakit di Rumah Sakit Gatot Subroto. Di situ terlihat bagaimana tersedu-sedunya Gusmao sambil memeluk dan mencium tangan Habibie seakan mengucapkan terima kasih yang mendalam karena telah merestui Timor Leste –yang saat itu bernama Timor Timor— untuk berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merdeka menjadi negara sendiri.
Inilah yang kemudian jadi tanda tanya besar saya, apakah Bupati Boalemo dan aparat pemerintah Kabupaten Boalemo memang benar-benar tidak tahu, atau lupa, atau sengaja acuh tak acuh atas hal ini. Ditambah lagi, dengan melihat posisi Bupati Boalemo, Bapak H. Darwis Moridu sebagai kepala daerah yang dianugerahi gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung dari Keraton Surakarta karena dianggap memiliki kepedulian lebih dalam melestarikan budaya dan adat istiadat serta kearifan lokal.
Jika demikian, saya harus mempertanyakan kembali gelar kehormatan Bupati Boalemo yang dianugerahkan Keraton Surakarta. Karena, apakah masih dianggap pantas etika seseorang Kepala Daerah yang mendapatkan gelar kehormatan dari daerah lain karena kepeduliannya terhadap adat istiadat, tapi tidak melakukan apa-apa saat seorang putra daerah yang mendapatkan gelar Ti Tilango Madala meninggal. (Penulis adalah aktivis/juru warta di Boalemo)