Kisah Petualang Seribu Nyali Asal Sulut Ini Resmi Dicetak Dalam Buku

Ilustrasi (ist)

indoBRITA, Manado- Kisah petualangan almarhum Franky Kowaas yang oleh beberapa rekannya dipanggil Kengkang akhirnya resmi ditulis oleh istri tercinta Nanvie Tagah dan Anang YB serta diterbitkan oleh Elex Media Computindo, Senin (7/10/2019) yang lalu.

 

Bacaan Lainnya

Buku yang nantinya akan tersedia di toko-toko Gramedia ini berisi 312 halaman diantaranya kenangan terhadap Franky mulai dari istri hingga beberapa testimoni tokoh petualang Indonesia yang pernah bertualang dengan Kengkang.

 

Dalam buku juga ada puisi Nanvie yang diberi judul Putih yang isinya curahan istri.

 

“Sudah, Franky. Tak usah dibawa dalam tangis,” bujukku sambil tetap memegang tangan kirinya yang dingin. “Kami sudah tahu kamu dimana. Tidak apa-apa Franky. Kami tidak apa-apa. Kamu pun tidak apa-apa kan?”

 

Aku sadar. Aku dan Franky memang masih satu hati dan tak terpisahkan. Hanya saja dunia kami sudah berbeda.

 

Selepas empat puluh hari semenjak Franky tenang di makamnya, mimpi itu tak datang lagi. Mungkin dia sudah dalam pendakian menuju puncak tertinggi ke delapan yakni surga yang agung.

 

Dalam buku juga ditulis Kenangan Lody Korua (Penggiat Alam Bebas) atas kehidupan Franky Kowaas.

 

Menjelang Franky meninggal, dia mengundang saya untuk datang ke Manado Skyline. Semua biaya ditanggungnya. Tiket penerbangan, penginapan, makan, dan semuanya. Dia ingin memperlihatkan semua yang sudah dia kelola. Dia mengajak saya ke Bukit Tetempangan. Dia kisahkan semua hal indah tentang tempat itu. Setiap hari saya diajak berkeliling.

“Ini semua seperti yang kita bikin di Citarik,” tutur Franky. “Bedanya, Citarik adalah sungai sedangkan ini di udara,” Franky lantas berkata mantap, “Ini semua aku lakukan sesuai saran-saranmu, Lod.” Franky jelaskan secara detail semua hal yag terkait dengan safety dan rescue di bisnis olahraga parayalangnya yang memang termasuk olahraga ekstrim. Mulai dari sistem radio komunikasi, penyediaan mobil evakuasi, keamanan, dan semuanya. “Semua ini saya belajar dari yang saya pelajari selama di Citarik bersamamu,” lanjut Franky.
Lantas, Franky sampaikan satu permintaan yang membuat saya kaget sekali. Dia mau meneruskan obsesi almarhum Dudi, tokoh senior penerjun paralayang Indonesia.

“Apa itu?” selidiki saya.

“Aku mau kamu terbang.”

“Udah lah Franky,” jawab saya mengelak. “Saya tekuni arung jeram saja. Nggak usah terbang.”

“Kamu bukan orang penakut, Lodi,” Franky menguatkan saya tanpa nada mendesak.

Saya bukan penakut. Saya cuma masih menyimpan trauma melihat sahabat saya almarhum Dudi kecelakaan saat menggunakan payung paralayang saya. Meskipun itu sudah terjadi puluhan tahun lalu.

Saya minta waktu untuk berpikir dan lantas kembali ke Jakarta. Ketika sudah mantap, saya pun terbang kembali ke kota Manado untuk tinggal di sana sekitar tiga minggu. Franky menargetkan saya untuk terbang paralayang sebanyak 40 kali penerbangan. Franky menjelaskan detail semua sistem safety paralayang dengan ringkas.

“Semua yang kita praktikkan di sini sudah teruji di luar negeri,” tegas Franky. Semua penjelasan Franky bisa saya terima karena saya memang sangat concern dengan safety. Presentasi Franky masuk di dalam standar saya. Itu yang membuat saya mantap untuk mencoba paralayang dipandu oleh Franky dan timnya.

Sewaktu terbang paralayang pertama kali, saya benar-benar menangis. Saya mengenang sahabat saya almarhum Dudi. Ketakutan dan keharuan menyatu di atas awan. “Akhirnya gue bisa terbang untuk pertama kalinya!”

“Terusin … terusin terbang!” Franky masih saja memotivasi saya untuk terbang lagi dan lagi.

Setelah mencoba sepuluh kali terbang rasa takut saya sudah hilang. Saya pun dapat memenuhi target Franky untuk terbang sebanyak empat puluh kali dalam satu kunjungan itu.

Selama tiga minggu bertamu di Manado, setiap malam saya selalu diajak makan di restoran. Anak buah Franky ikut semua. Turun dari Bukit Tetempangan kami langsung meluncur ke restoran. “Nanvie, restoran mana yang kita sewa malam ini?” Dia bayarin semua.

Tidak hanya itu, ketika saya sudah merasa cukup tinggal di Manado dan menyatakan kangen kepada anak-anak, justru Franky menyiapkan tiket untuk anak-anak saya itu. Mereka terbang dari Jakarta dan bergabung dengan saya belajar paralayang bersama tim Franky.

Soal nyali dan skill, Franky sangat memadai. Dia juga seorang pendobrak. Siapa pun yang hendak melarang dia harus mempunyai argumen kuat. Dengan itu, Franky akan menurut. Kalau tanpa penjelasan dia akan berjalan dengan keyakinannya sendiri.

Tiga minggu bersama Franky telah mengubah hidup saya. Saya telah membeli dan menyimpan payung paralayang selama 32 tahun. Trauma berkepanjangan membuat saya lebih banyak menyimpan dan meminjamkan alat itu untuk orang lain. Kini, Franky telah membuka mata saya. Saya telah terbang 40 kali dalam sekali kedatangan di Manado. Saya tambah lagi menjadi 70 kali terbang setelah Franky meninggal. Saya menjadi tergila-gila dengan olahraga ini!

Begitulah Franky, sahabat sejati saya. Franky sudah mengubah ketakutan saya menjadi kekuatan hati. Dia berikan satu payung paralayang untuk saya.

“Itu payung mahal, Franky,” kata saya.

“Ndak, kamu pantas dapat ini,” sahut Franky tulus.

Nanvie Tagah istri almarhum menyebut ketika buku ini tiba di toko buku, nantinya akan ada acara bedah buku dengan mengundang sejumlah jurnalis.(*)

Baca juga:  Gorontalo Bebas dari Masalah Pungli dan Tindak Korupsi

Pos terkait