Manado – Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Sulut yang berorentasi pada perlindungan pekerja seks (PS), bersama sejumlah organisasi dan perwakilan pemerintah Sulut, menggelar diskusi terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Selasa (18/2/2020), di salah satu hotel berbintang di Kota Manado.
Diskusi tersebut melibatkan OPSI Sulut sebagai inisiator kegiatan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado, Swara Parampuang (Swapar), Komite Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), P2TP2A Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Sulut, Komisi penanganan AIDS (KPA) Manado, Satu Hati, PKBI, LKKNU dan Yayasan Batamang Plus.
Dijelaskan ketua OPSI Sulut, Evi Rompas, berdasarkan data yang dimiliki OPSI, tercatat sebanyak 207 kasus pelanggaran HAM terhadap PS di Indonesia yang terjadi Tahun 2019, dengan berbagai bentuk kekerasan yang diantaranya fisik, pisikis, ekonomi dan sebagainya.
“Sulut ada 45 kasus. OPSI Sulut sendiri melakukan pendampingi terhadap 42 kasus kekerasan terhadap para PS. Tapi pada akhirnya korban tidak mau melanjutkan proses hukum. Hal itu disebabkan karena pelaku merupakan orang terdekat korban seperti suami atau pacar,” kata Rompas.
Sementara itu, Jekson Wenas, perwakilan LBH Manado mencatat, pendampingan hukum atas kasus kekerasan terhadap PS sering menemui sejumlah kendala.
“Ketika akan diajukan atau telah berproses hukum, kasusnya tidak bisa selesai disebabkan kekurangan alat bukti, tak ada saksi dan paling banyak, korban tidak lagi mau melanjutkan proses hukum dari kasus itu,” ujar Wenas.
Hambatan yang sama dalam pendampingan terhadap kasus kekerasan juga dialami Komunitas Satu Hati yang menjadi wadah para trans gender.
“Tahun 2019, Satu Hati melakukan pendokumentasian kasus. Ada beberapa kasus yang didampingi, tapi tidak selesai, karena korban memilih menghentikan proses hukum dengan alasan takut identitasnya terekspos,” kata Clif Mangola, ketua komunitas Satu Hati.
Everdien Kalesaran, perwakilan P2TP2A Sulut mengatakan, di Tahun 2019, pihaknya menerima 37 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak oleh karena sejumlah latarbelakang.
“Hasil tindaklanjut pendampingan dari 37 kasus itu, baru 3 kasus yang selesai dan lainnya dalam proses hukum. Dalam pendampingan dalam kasus-kasus kekerasan, kami bekerjasama dengan sejumlah pihak. Dan mewakili pemerintah, kami sangat mendukung dan mengapresiasi bila terbentuknya aliansi atau koalisi masyarakat sipil peduli HAM di Sulut,” tutur Kalesaran.
Sedangkan Swapar sendiri mencatat, di Tahun 2019 mendampingi 55 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari data yang dimiliki, untuk 3 tahun terakhir terjadi penurunan jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak di Sulut.
“Itu terjadi karena lahirnya organisasi-organisasi yang kosen akan kekerasan perempuan dan anak. Dari 55 kasus di Tahun 2019, terdapat 17 kasus adalah kasus kekerasan seksual. Dan hanya 30-an kasus penanganan selesai. Dan usia 19-40 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual,” Mun Djenaan, perwakilan Swapar Sulut.
Joni Wuisan, perwakilan KPA Manado berpendapat, salah satu kasus yang perlu mendapat perhatian yakni, pengidap HIV AIDS mendapat diskriminasi dari perusahaan tempat kerjanya.
“Contohnya, bila diketahui sebagai pengidap, perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan bahasa halus meminta istirahat hingga sembuh baru masuk kerja lagi. Ini salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan perusahaan,” beber Wuisan.
Frangki Mantiri, Direktur Advokasi KSBSI Sulut menilai, sistem lamaran kerja saat ini perlu diubah, karena bersifat diskriminatif.
“Seperti kalimat dibutuhkan karyawan dengan batas usia tertentu dan berpenampilan menarik, tinggi badan sekian, dan sebagainya. Itu diskriminatif. Memang ada pekerjaan tertentu yang memiliki ketentuan. Tapi KSBSI saat ini mendorong untuk merubah persyaratan lamaran kerja. Berkaitan dengan karyawan yang sakit berkempanjangan, perusahaan tidak bisa menghentikan karyawan dan wajib memberikan cuti berobat. Tapi kewajiban membayar upah terus dilakukan oleh perusahaan kepada karyawannya, hingga batas waktu sesuai diatur dalam peraturan perundang undangan,” ungkap Mantiri.
Diakhir diskusi, disepakati seluruh peserta untuk melakukan pertemuan lanjutan, dalam rangka mempersiapkan pembentukan sebuah forum koordinasi yang terdiri dari yayasan, lembaga dan komunitas pemerhati HAM di Sulut dalam pendampingan bagi para korban pelanggaran HAM.