Gereja tanpa Gedung Gereja

Sovian Lawendatu (ist)

Oleh Sovian Lawendatu

SELAMA tiga tahun masa pelayanan-Nya, Tuhan Yesus tidak mendirikan gedung gereja sebagai partisipatorium atau rumah ibadah. Ia mengajar di Bait Allah, di bukit, di tepi danau, bahkan di jalanan.

Bacaan Lainnya

Para rasul-Nya pun demikian. Mereka mengabarkan Injil, mendirikan jemaat, tapi tidak membangun gedung gereja.

Dari Alkitab, kita mengetahui, bahwa jemaat Kristen perdana beribadah di rumah-rumah keluarga. Ada masanya memang mereka beribadah di Bait Allah, namun kemudian mereka meninggalkan Bait Allah seiring dengan sikap menjauhkan diri dari anasir keyahudian. Ketika berlangsung penganiayaan dari para Kaisar Romawi Kuno, jemaat Kristen pada masa itu hidup di goa-goa kuburan (katakombe), dan praktis beribadah di dalamnya.

Saya tidak tahu, sejak kapan umat Kristen mendirikan gedung gereja. Yang pasti, gedung gereja didirikan ketika umat Kristen (Gereja/Jemaat) membutuhkan tempat khusus bagi peribadatannya. Ini lantas menjadikan gedung gereja sebagai pusat pelayanan.

Berhubung dengan itu, konsistorium (ruang sidang majelis jemaat), bahkan pastorium (rumah dinas pastor atau pendeta) sedapat mungkin harus dibangun di areal gedung gereja (partisipatorium). Ada semacam kejanggalan, kalau pastorium dibangun di luar areal lokasi partisipatorium.

Baca juga:  Ajaran Bung Karno

Kenyataan di atas tak pelak menciptakan citra gedung gereja sebagai ‘rumah Tuhan’ atau ‘ruang yang (maha)kudus’. Akibatnya, peribadatan di gedung gereja diidentifikasikan dengan ‘kekudusan’, dan karenanya pula, pelayanan di ‘mimbar besar’ dirasa lebih ‘bermartabat’ tinimbang pelayanan di ‘mimbar kecil’.?

Entah karena pencitraan sedemikian, entah pula karena faktor yang lain, Gereja sering melalaikan tugas Pembinaan Keluarga. Akibatnya sungguh kompleks. Gereja, misalnya, lebih banyak hadir untuk ‘merayakan’ hari ulang tahun anggota keluarga, ketimbang penggembalaan.

Misal yang lain, Gereja lebih banyak alibi di saat terjadinya saling saling dalam kehidupan keluarga-keluarga jemaat. Kalau pun hadir, kehadiran Gereja itu cenderung berlangsung sesudah segala nasi saling silang di dalam keluarga-keluarga jemaat terlanjur menjadi bubur perceraian. Tentu saja, kehadiran Gereja yang bersifat ‘terlambat’ itu begitu sempurna dalam kapasitasnya selaku polisi moral yang mengebaskan ‘linggis’ juklak cerai hidup ke diri jemaatnya.

Semua itu niscaya menggugah keprihatinan. Selebihnya mungkin ironi bagi Gereja yang menggaungkan konsepsi ‘Keluarga Misioner’ dan ‘Trilogi Pembangunan Jemaat’ bagi panggilan tugas misiologisnya.

Hari-hari terakhir ini, ancaman maut virus corona (covid-19) telah memaksa Gereja untuk mencabut fungsi gedungnya (partisipatorium) sebagai sentral pelayanan. Pada saat yang sama, Gereja dengan terpaksa mesti memusatkan pelayanannya di rumah-rumah keluarga jemaat.

Baca juga:  Dinkes Minsel Gelar Schreening dengan 216 WBP LP Amurang

‘Terpaksa’! Diksi ini terasa mutlak dipakai untuk pencandraan fenomena yang menyembul sebagai akibat dari kealpaan Gereja dalam menjabarkan konsepsi misiologisnya tadi ke tataran praksis kepelayanan yang memberdayakan dan memandirikan keluarga-keluarga jemaat berkaitan dengan eksistensinya sebagai ‘imamat am orang-orang percaya’.

 

Dan keterpaksaan itu jelas naga-naganya, indikatornya. Yakni, tatkala urusan sekecil Ibadah Keluarga saja mesti menunggu komando  langsung dari ‘markas besar’ sinode. Lebih jelas lagi ‘keterpaksaan’nya ketika urusan kecil itu didahului dengan teriakan-teriakan warga-netizen Gereja yang menuntut pelaksanaan Ibadah Keluarga.

Saat ini, kendati hanya sementara yang pendek, hilangnya fungsi gedung gereja sebagai pusat pelayanan kiranya sudah cukup dijadikan pemicu bagi Gereja yang sesungguhnya untuk mengembangkan model pelayanan yang lebih memberdayakan dan memandirikan eksistensi keluarga sebagai ‘rumah Tuhan’.

Dengan cara demikian, seandainya atas izin Tuhan semua gedung gereja kelak menjadi ‘pusat penyebaran virus mahaganas’, maka keluarga-keluarga yang di atas kebasisannya Gereja berdiri akan tetap eksis sebagai ‘rumah Tuhan’ yang kudus dan mandiri, sekaligus juga menjadi ‘pusat-pusat pelayanan’ bagi Gereja itu sendiri. (Penulis adalah budayawan/kritikus sastra, juga seorang tenaga pengajar)

 

Pos terkait