Renungan tentang Kisah Para Rasul 1: 11
(Oleh Sovian Lawendatu)
LANGIT memang menyimpan misteri kehidupan. Juga bagian impian utama orang-orang percaya untuk hidup dalam kemuliaan dan keabadian. Maklumlah, di atas langit yang terbidik tatapan mata kita ada berlapis-lapis langit, dan di atas langit lapis terakhir bertumpu kaki Allah atau berdiri sorga kediaman-Nya yang kekal (Mzm 148:1&4).
Sementara manusia, siapa pun dia yang masih hidup di muka bumi, tidak satu pun yang pernah melihat realitas yang hadir di balik langit (yang berlapis-lapis) itu. Juga tidak kaum astronout yang pernah mendarat di bulan dan planet mars. Atau kaum astronom yang matanya berhasil membidik bintang gemintang dengan kecanggihan teropong.
Realitas langit itu semakin menjadi misteri ketika dihadapkan dengan sosok Kristus dalam konteks peristiwa kenaikan-Nya atau keterangkatan-Nya ke sorga. Sebab peristiwa ini memang misteri, dalam arti berlangsung di luar dugaan para murid-Nya. Dalam hal ini, Yesus hanya menyuruh para murid-Nya untuk berangkat ke Bukit Zaitun, menurut kesaksian Matius 28:16 dan KPR 1:12 dalam pemaknaan intertekstualnya. Tapi Ia tidak memberitahu mereka bahwa Ia akan naik ke sorga dari bukit itu. Maka jangan heran kalau mereka menjadi takjub ketika menyaksikan Yesus terangkat ke sorga.
Misteri memang selalu menakjubkan. Dalam konteks peristiwa kenaikan Yesus ke sorga, ketakjuban akan misteri itu tersirat dari laku para murid-Nya yang “berdiri melihat ke langit” (lihat KPR 1: 10-11a).
Mengekspresikan rasa takjub akan misteri merupakan hal yang manusiawi, bahkan Kristiani. Namun, para murid itu tidak perlu larut dalam ketakjuban akan peristiwa kenaikan Yesus ke sorga. Mengapa? Sebab peristiwa kenaikan Yesus sudah diinformasikan-Nya dalam momen pertemuan dengan para murid-Nya sebelumnya (Yoh. 14:2-3), sebagaimana Ia menginformasikan kedatangan-Nya yang kedua kali dengan cara mengendarai awan-awan (Mat.24:30). Lagipula, tugas para murid itu adalah memberitakan Injil, termasuk memberitakan peristiwa kenaikan Yesus ke sorga, kepada seluruh bangsa (Mat. 28:19, KPR 1:8) atau segala makhluk (Mrk. 16:15).
Di titik ini, dapat dimengerti, jika kedua malaikat — yang menyaksikan sekaligus mengawal kenaikan Yesus ke sorga — menegur para murid itu dengan perkataan : “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga” (KPR 1:11).
Teguran kedua malaikat itu juga bermakna peringatan (warning) kepada Gereja. Bahwa dalam konteks pelaksanaan tugas-tugasnya, Gereja di dunia tidak boleh hanya fokus “berdiri melihat ke langit”, sambil membutakan mata dan telinga terhadap realitas di bumi.
Memberitakan Injil Kristus, termasuk menceritakan segala mujizat yang pernah dilakukan-Nya, memang keniscayaan tugas Gereja di bidang marturia. Namun, tugas atau pekerjaan Gereja tidak boleh berhenti di situ saja.
Gereja mesti bangkit dari mimpi panjangnya akan hidup nikmat dalam keindahan dan keabadian sorga untuk mewujudkan damai sejahtra sorgawi itu di dunia dengan memberdayakan orang-orang yang papah, membuka belenggu-belenggu kelaliman, memerangi ketamakan dan keserakahan, melawan segala bentuk ketidakbenaran dan ketidakadilan yang sering bahkan berlaku di tengah-tengah kehidupan Gereja dan bergereja itu sendiri. Itulah pekerjaan diakoni dalam arti luas.
Lebih ironis lagi, bila ‘langit’ yang dijadikan fokus tatapan Gereja adalah ‘langit’ kekuasaan dan kemakmuran duniawi kelompok klerus. Dalam keadaan demikian Gereja hanya turut mengesahkan tudingan Karl Marx, bahwa agama merupakan candu buat rakyat. Selamat Memperingati Hari Kenaikan Tuhan Yesus ke sorga! (Sovian Lawendatu adalah Budayawan, Kritikus Sastra, Tenaga Pengajar dan Penulis Tetap indoBRITA)