Catatan Seputar Transformasi Budaya Pendidikan
Oleh Sovian Lawendatu
SETIAP celaka ada gunanya. Begitu bunyi sepatah kearifan kuno. Tidak soal, jika celaka itu ternyata sefatal ‘cilaka 13’.
Tentu, kalau masih ada waktu untuk memilih, kita lebih suka tidak celaka karena memang jauh lebih berguna tidak celaka daripada celaka. Tapi, ketika pilihan lain tidak ada — karena diri sudah terlanjur basah dengan nasib celaka –, maka pilihan kita tidak lain ialah memberi makna atau memetik hikmat pada ke-celaka-an itu.
Pembelajaran daring yang sudah berproses selang tiga bulan lampau sebut saja sebagai ‘Cilaka 13’ buat kualitas peradaban bangsa kita. Sama hakikatnya dengan akar musababnya yang nota bene telah menjadi pengalaman getir traumatik segala bangsa yang bercokol di atas muka bumi, yakni Pandemi Covid-19.
Cilaka 13, memang. Sebab pembelajaran daring tidak memburu kualitas gegara kelahirannya yang berangkat dari nasib apes bangsa kita di tengah rundungan pandemi korona. Ini pun bergamit dengan kebiasaan bangsa kita dengan pembelajaran luring atau tatap muka, yang galibnya menghakikati eksistensi budaya sekolah.
Adapun kebergunaan dari ‘celaka 13’ yang bernama ‘pembelajaran daring’ adalah bahwa ia mendorong, bahkan menuntut dilakukannya proses transformasi sekolah dari kodratnya yang konvensional atau luring (luar jaringan) menjadi yang berkodrat daring. Tuntutan ini bukan hanya tuntutan era pandemi, melainkan terutama tuntutan zaman supernormal teknologi. Ini sejauh diingat bahwa di balik era pandemi kini sesungguhnya sudah berlaku zaman digital atau internet.
Alhasil, jika tuntutan itu dipenuhi, maka pembelajaran daring bagi bangsa kita tidak lagi menjadi ‘cilaka 13’, dalam arti tidak sekadar pengisi lowong masa pandemi, tetapi sudah menjadi berkat-keniscayaan zaman.
Tentu saja saya sadar, bahwa tidak mudah mentransformasikan eksistensi sekolah dari sistem luring ke sistem daring. Di sana pasti ada kendala ekonomi, teknologi, dan budaya yang berskala nasional.
Walaupun demikian, transformasi itu mesti dimulai dari sekarang, sambil mengeliminasi tantangan dan kendala yang dihadapi — ini kalau tidak dikehendaki agar bangsa kita terus menerus hidup di bawah tempurung budaya luring.? Caranya antara lain dengan menghadirkan semacam pilot project “sekolah online/daring”.Semoga! (Penulis adalah Guru SLTA di Bitung/Kolumnis Tetap indoBRITA.Co)