Selisih Puluhan Miliar, Inakor Beber Dugaan Korupsi PBI Dinkes Sulut di Kejati

Ketua Inakor Sulut dalam sesi jumpa pers di Kejati Sulut (Foto: dok IBC)

indoBRITA,Manado– Pengadaan Barang Impor (PBI) alat kesehatan untuk penanganan Covid-19 tahun 2020 oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut menjadi perhatian khusus lembaga Independen Nasional Anti Korupsi (Inakor). Investigasi Inakor, pengadaan PBI tak sesuai kebutuhan dan perencanaan.

Bahkan untuk pembiayaan PBI alat Covid-19 secara keseluruhan, Gubernur Sulut Olly Dondokambey saat itu disebut belum memberikan persetujuan.

Bacaan Lainnya

“Ada dugaan korupsi dengan anggaran yang terbilang fantastis untuk PBI alat penanganan Covid-19. Itu sebabnya kami melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi Sulut dengan tembusan Presiden RI, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung dan Ketua KPK RI,” kata Ketua DPW Inakor Sulut, Rolly Wenas kepada wartawan di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulut, Selasa (19/7/2022).

Aktivis vokal ini lantas membeber realisasi impor barang dari Cina. Sampai 27 Mei 2020 menurut Rolly anggaran yang digelontorkan buat impor barang tersebut sebesar Rp63.663.928.718,56. Anggaran ini jauh lebih tinggi dari nilai yang disetujui sebesar Rp Rp50.992.900.000.

“Jadi terdapat selisih Rp12 miliar lebih. Ini perlu didalami aparat penegak hukum,” Rolly menegaskan.

Pria yang beberapa kali menang pra peradilan untuk sejumlah kasus korupsi di berbagai instansi ini makin curiga ada yang janggal setelah melihat sisa anggaran sampai tahap enam tertinggal hanya Rp1.935.334.591. Sementara barang-barang yang diimpor sebesar Rp63.663.928.718,56 baru terealisasikan dengan kontrak sebesar Rp15.942.450.183,50.

“Jadi barang-barang impor yang tersisa bernilai Rp47.721.478.535. Semua barang tersimpan di gudang JSM dan tidak jelas peruntukannya,” ungkap Koordinator Wilayah (Korwil) Inakor Indonesia Timur ini.

Baca juga:  Polisi Jadi Pahlawan di Dongeng Buatan Anak, Kapolri: Tanamkan dan Jadikan Semangat Jadi Lebih Baik

Rolly dan sejumlah pengurus Inakor Sulut kemudian meminta penjelasan dari manajemen JSM soal keberadaan barang-barang tersebut. “KFY, salah satu karyawan JSM menyebut semua barang itu milik PT CPHPL,” ujar Rolly yang dibenarkan pengurus lainnya.

Sekedar diketahui PT CPHPL adalah penyedia barang yang bermitra dengan Dinkes Sulut. “Barang-barang itu dititipkan PT CPHPL secara cuma-cuma di guang JSM.  Tapi khusus untuk rapid test ditempatkan di kontainer pendingin milik JSM di Tuminting dengan biaya listrik dibebankan ke PT CPHPL,” kata Rolly.

KFY juga dalam penjelasannya mengakui jika nama importir dan pembeli yang tercantum dalam invoice adalah Bendahara Dinkes Sulut. Namun barang-barang tersebut bukan milik Dinkes Sulut. Keterangan  KFY diperkuat oleh AA.

Untuk diketahui, AA adalah orang yang mengkoordinasi pengiriman sampai penyimpanan barang di gudang. AA disebutkan Inakor dalam laporannya punya hubungan dengan penyedia PT CPHPL.

“Informasi dari keduanya,  barang-barang digunakan itu tidak dikuasai dan dimiliki Dinkes Sulut. Mengapa? Karena proses pembayaran atas barang tersebut dilakukan secara parsial, tergantung realisasi anggaran,” Rolly menguraikan.

Dengan kondisi tersebut, pria yang sering mengucir rambutnya ini berpendapat barang impor yang mendapatkan pembebasan bea masuk, PPN dan PPh dengan atas nama Dinkes Sulut itu berpotensi disalahgunakan pihak penyedia.

“Semua kejanggalan terjadi karena Kepala Dinas Kesehatan tidak memerhatikan kebutuhan dan kecakapan anggaran dalam pengajuan impor serta tidak efektif dalam mengawasi dan mengontrol tugas PPK. Di sisi lain PPK kurang cermat melakukan pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan tugasnya terkait pengadaan dari barang impor,” katanya

Baca juga:  Maju Selangkah, Pemkot dan Rutan Manado Tandatangani MoU tentang Program Marijo Bakobong

Atas dasar itu, Rolly berkesimplan adanya perbuatan melawan hukum dalam pengadaan barang impor alat-alat penanganan Covid-19 di Dinkes Sulut. “Kondisi ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) Keuangan RI Nomor 34/PMK.04/20212 tentang pemberian fasilitas kepabeanan dan/atau cukai untuk keperluan penanganan Covid-19,” ucapnya.

Berdasarkan Permen tersebut, khususnya pada pasal 2 ayat 1 disebutkan Rolly  bahwa impor barang atas keperluan penanganan pandemic Covid-19 diberikan fasilitas berupa pembebasan bea masuk dan/atau cukai, tidak dipungut pajak pertambahan nilai dan penjualan barang serta dibebaskan dari pajak penghasilan.

“Pun sejak awal rencana pengadaan barang impor ini tidak sesuai peraturan lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah nomor 13 tahun 2018, khususnya dalam penanganan keadaan darurat,” ujarnya.

Rolly juga menyebut jika pengadaan barang di awal disesuaikan dengan jumlah penduduk Sulut sebanyak 2.652.355 jiwa, kebutuhan dan kasus yang terjadi. Berdasarkan identifikasi  tersebut, nominal anggaran yang dibutuhkan adalah Rp Rp2.264.989.613.

Dana dua triliun rupiah lebih itu selanjutnya akan digunakan untuk membeli masker 8.752.772 pcs dengan nilai Rp14.58.963.000, APD 495.00 set dengan nilai Rp494.900.000.000, disinfektan 49.500 liter dengan nilai Rp4.950.000.000, handsaibitizer875.277 dengan nilai Rp875.277.150.000 dan rapid tes 291.760 dengan nilai Rp875.278.500.000.

Hanya saja Rolly sudah tak merinci apakah dana sebesar itu tersedia dan dipergunakan dengan baik atau tidak.  “Fokus perhatian kami pada pengadaan barang impor yang ditengarai tidak sesuai kebutuhan dan perencanaan, terlebih dahulu bukan atas kehendak Gubernur Sulut,” katanya.

Sayang Kepala Dinas Kesehatan Sulut Debby Kalalo belum memberikan keterangan soal laporan Inakor tersebut. Media ini sudah mencoba meminta konfirmasi melalui layanan whatsapp, tapi tidak dibalas. (*/adm)

 

 

 

 

Pos terkait