Rumah Rata Tanah, Oknum Mafia Gusur Paksa Lima Pemilik Lahan di Ring Road

Sertifikat Hak Milik nomor 150 yang dipolemikkan. Dalam sertifikat itu tertera Wilayah Kecamatan Tenga. (Ist)

indoBRITA, Manado-Sengketa tanah sering mengorbankan rakyat kecil. Terbaru lima pemilik lahan di Kawasan Ring Road tak berkutik menghadapi ‘keserakahan mafia tanah’. Rumah mereka yang berdiri tegak di bilangan samping RSUD Manado rata tanah diterjang alat berat Satuan Polisi Pamong Praja Manado pada 19 Agustus 2022 lalu. Sesaat setelah bangunan digusur, oknum mafia langsung memagar tanah warga.

Kolaborasi apik menggusur bangunan warga atas nama IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan pemagaran sepihak membuat warga kehilangan hak atas tanah, termasuk perlindungan hukum Negara. Kelima warga itu adalah Auvry MR Engka SH, Jemy Sanger, Yafet Putong, Mike Putong dan Yenni Singal. Mereka membeli secara resmi dari Andreas Nini dan Kornely Kaunang yang memegang Surat Keterangan Garapan.

Penerima kuasa warga Auvry MR Engka SH menjelaskan, perampasan tanah dan pengrusakan bangunan berawal dari tiga buah Surat Peringatan (SP) Satuan Pol PP Manado secara beruntun. Adapun jatuh tempo penertiban lapak dan bangunan pada tanggal 16 Agustus 2022. Tapi kemudian bergeser tanggal 19 Agustus 2022. Masih dalam suasana HUT RI.

“Pada saat menggusur alasannya IMB. Tapi aneh, rumah tripleks juga digusur. Kemudian ada satu rumah yang tidak digusur. Di dalam rumah warga juga ada orang yang lumpuh sudah 20 tahun,” ujar Auvry, Senin (12/9/2022), di Manado.

Belakangan, warga mengetahui, ternyata penggusuran itu jalan masuk mafia untuk memagari lahan warga. Auvry mengatakan, warga memiliki legalitas yang sah. Sebaliknya, pihak yang mengklaim kepemilikan dan memagari tanah warga memegang SHM 150 dan dua SHGB bernomor 788 dan 789 tahun 2020. SHM 150 itu sudah rontok di pengadilan karena pihak yang mengklaim tidak bisa membuktikan keaslian surat.

Baca juga:  Terungkap!!! Pemkot Manado Masih 'Menabung' Temuan BPK Sejak 2005-2015

“Kami memegang Surat Keterangan Garapan tahun 1971. Surat ini ditandatangani Kepala Lingkungan Fredy Walangitan di masa itu. Tahun 1981 terbit SHM 150 atas nama Reni Laoh Tambuwun,” jelas Auvry.

Ia menegaskan, sertifikat ini tidak diakui oleh masyarakat setempat karena muncul tanpa peralihan hak. Semua warkah tanah ada di tangan masyarakat.

Pada tahun 2009, masyarakat mengikuti hearing di DPRD. Kepala Seksi Bidang Sengketa BPN Manado Motulo hadir dalam hearing tersebut. Dalam keterangan hearing, Motulo mengatakan, bahwa di tahun 1981 belum sampai nomor 150. Keanehan muncul karena dalam SHM 150 tertera Wilayah Kecamatan Tenga. Sementara di Manado dari dahulu kala tidak ada nama Wilayah Kecamatan Tenga.

Mengenai keaslian SHM 150 tersebut, sudah terbantah dalam hearing Komisi 1 DPRD Manado tahun 2009. Hearing yang dipimping Ketua Komisi 1 Benny Parasan SH, mengeluarkan keterangan dewan bahwa, asal usul SHM 150 tidak jelas. Kemudian Wilayah Kecamatan Tenga juga tidak ada di Manado. Lalu tidak ada peralihan hak sebagai syarat penerbitan SHM.

Baca juga:  Denny Tewu Akan Memperjuangkan Solusi Kepentingan Pekerja dan Kepentingan Pengusaha Demi Sulut Luar Biasa

Tahun 2010, lima warga dilapor ke Polda Sulut. Konon warga mendekam semalam dalam sel Polda Sulut. Perkara mulai berjalan, hingga PN Manado memenangkan penggugat tahun 2011. Masyarakat kalah.

Tapi masyarakat mengajukan banding di tingkat Pengadilan Tinggi (PT) di Makasar. Hasilnya, masyarakat memenangkan putusan Pengadilan Tinggi. Penggugat sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) tapi ditolak karena cacat formil. Putusan PT menguatkan statu kepemilikan warga atas tanah seluas 22.000 m2 itu.

Anehnya, tahun 2012 nomor SHM 150 berubah menjadi 239. “Isinya sama. Wilayah Kecamatan Tenga masih ada. Cuma nomor yang berubah,” ujar Auvry sambil menunjukan dokumen.

Ironisnya, tahun 2020, BPN Manado menerbitkan SHG 788 dan 789 atas nama PT Kanaka Subur Sentosa. Obyek tanah itu terbelah karena jalan yang melintas di tengah lahan. Padahal penggugat sudah kalah di pengadilan tahun 2011.

Yang mengherankan, hingga saat ini masyarakat tidak pernah mengenal pihak yang mengaku memiliki SHM lalu memanfaatkan momen penggusuran dengan memagari tanah mereka.

“Kami minta atensi Kementerian ATR/BPN dan Polri untuk melindungi hak kami. Karena ini jelas penindasan dan perampasan hak masyarakat,” pinta Auvry.

Untuk saat ini warga meminta bantuan dan perlindungan dari ormas ada yang memiliki atensi melindungi hak-hak rakyat. Terdapat BETA dan BARMAS yang memberikan perhatian terhadap kasus perampasan tanah warga. (*/adm)

Pos terkait