Ambuguitas akan Identitas ke-Indonesiaan, Antara Fundamentalisme Spritual ataukah Liberalisme Sekuler?

Oleh Jerry F. G. Bambuta

FORUM LITERASI MASYARAKAT

FUNDAMENTALISME adalah paham yang memperjuangkan/mempertahankan sebuah paham secara radikal atau ekstrim. Fundamentalisme spiritual adalah sikap/cara pandang yang memperjuangkan/mempertahankan konsep atau tata nilai religius secara radikal atau ekstrim. Saking ekstrimnya, kerap kali menciptakan kelompok puritan yang tidak hanya konservatif tapi juga eksklusif. Saking eksklusifnya, gagasan fundamentalisme spiritual kerap kali menolak pluralisme religius, dan mencap mereka yang berbeda sebagai kelompok “kafir”.

Corak ekslusifisme dalam konsep fundamentalisme spiritual kerap kali gagal menjadi “lentera penerang” dalam lingkup masyarakat yang universal. Siar religius yang katanya membawa “oase spiritual” bagi dunia yang gelap malah menjadi sandungan bagi kemanusiaan yang heterogen. Ironisnya, fundamentalisme spiritual mengklaim diri “memeluk Tuhan” tapi malah menolak “kemanusiaan” yang heterogen. Fundamentalisme spiritual selalu rabun membedakan antara “negara teokrasi” dan “negara demokrasi” yang religius.

Di sisi lainnya, pada posisi antagonis terhadap fundamentalisme spiritual, ada juga paham yang di sebut “liberalisme sekuler”. Liberalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kebebasan berpikir, berpendapat dan bertindak secara individu maupun kolektif. Liberalisme sekuler adalah paham yang memandang manusia sebagai mahluk merdeka dalam berpikir, berpendapat dan bersikap dalam ruang-ruang sekuler. Pola kehidupan masyarakat barat yang cenderung liberal-sekuler banyak kali bertabrakan dengan kultur Timur yang sifatnya konservatif.

Dua paham di atas, baik fundamentalisme spiritual atau liberalisme sekuler ibarat bandul yang bergerak dinamis, dan sangat di pengaruhi oleh tekanan yang mendorongnya. Indonesia yang katanya di sebut sebagai “negara demokrasi” religius kerap di hantui oleh paham “trans-nasionalisme” yang berpotensi menjurus ke arah fundamentalisme spiritual. Praktek politik identitas dengan sentimen religius kerap di gunakan sebagai  “instrumen polarisasi politik” dalam setiap momentum demokrasi. Akibatnya, solidaritas dalam pluralitas berbangsa menjadi korban karena terancam retak

Di sisi lainnya, Indonesia yang katanya berfalsafah Pancasila sebagai konsensus bangsa kerap menunjukan wajah demokrasi ekonomi yang hipokrit dan liberal. Dalam konteks ekonomi, falsafah Pancasila menekankan pada keadilan dan kesetaraan dalam hak dan akses kesejahteraan rakyat. Pada faktanya, malah yang terpampang di tengah bangsa ini adalah wajah kapitalisme yang sangat liberal. Liberalisme sekuler menjadi hegemoni yang mendominasi setiap sendi-sendi vital negara. Sel-sel kapitalis beranak pinak menyedot hak kesejahteraan rakyat demi membangun imperium mereka.

Baca juga:  E2L-HJP dan Prabowo, Keikutsertaan yang Keempat (2)

Oligarki ekonomi menggurita dengan tentakel monopoli, oligopoli dan monopsoni dari para kelompok kapitalis. Akibatnya, keseteraan dan keadilan ekonomi Pancasilais hanyalah slogan dan retorika belaka. Pada faktanya, ekonomi nasional terkungkung ironi karena di penuhi dengan beragam ketimpangan. Data yang di kutip oleh katadata pada tanggal 9 November 2018 mengungkap data yang di laporkan Credit Issue. Dalam laporannya bertajuk “Global Wealth Report 2016”, menunjukan data yang jelas terjadinya polarisasi ekonomi nasional secara dominan hanya pada kelompok yang kaya

Dari laporannya, data yang di rilis oleh Credit Issue menunjukan bahwa 10% dari orang paling kaya Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan penduduk dewasa. Dan jumlah 1% dari orang paling kaya Indonesia menguasai 46% total kekayaan penduduk dewasa. Jika struktur ekonomi nasional terjadi kesenjangan seperti ini, maka pertumbunan ekonomi nasional sudah pasti tidak di imbangi dengan pemerataan hak dan akses ekonomi yang adil bagi rakyat. Tingginya grafik pertumbuhan ekonomi bukan karena di distribusi dari aktivitas ekonomi yang adil, tapi karena di kontribusi oleh para penguasa modal yang memonopoli ekonomi negara.

Indonesia mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi yang religius, kenyataanya malah mulai mengimpor paham “trans-nasionalisme” yang bjsa mengubah negara demokrasi menjadi teokrasi. Dan secara langsung akan meluluh lantakan bangunan pluralisme di bawah atap “bhineka tunggal ika”. Kita mengklaim diri sebagai negara demokrasi, di mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Pada faktanya, kontestasi demokrasi tidak lebih dari “resepsi politik” di mana para elit saling makan berebut kekuasaan.

Aspirasi rakyat bukan lagi menjadi navigasi demokrasi yang hakiki. Rakyat tidak lebih dari sekedar “obralan elektoral” yang bisa di borong dengan harga receh ala politik transaksional. Politik gagasan dan rekam jejak kompetitif menjadi tak berharga karena larisnya politik uang dalam demokrasi. Parpol yang adalah jalan perjuangan politik pun kerap menerapkan “mahar politik” dari balik layar populisme politik.  Akibatnya, demi menutupi obesitasnya biaya politik, para politisi bermufakat dengan cukong penguasa modal. Kelak saat berkuasa, politisi tersebut hanya boneka para cukong, mereka mutlak mengisi kantong cukong daripada mengenyangkan perut rakyat.

Baca juga:  HJP, E2L dan Prabowo dalam Perbincangan Pilpres-Pilkada (1)

Kita harus berani jujur mencermati situasi kritis di atas, negara besar ini benar-benar darurat mengalami ambiguitas identitas dirinya! Dalam kecamuk geopolitik global saat ini, Indonesia yang mengalami dualisme identitas “bipolar” ini sangat berbahaya! Jika kita tidak kokoh berdiri sebagai bangsa bermartabat (nation dignity) dengan mentalitas merdeka, maka kita akan jadi “bangsa budak” di bawah ketiak asing. Pemimpin publik atau politisi yang kehilangan  “konstruksi identitas kebangsaan”, akhirnya hanya akan menjadi kelompok opurtunis yang parasit terhadap bangsa sendiri. Cenderung menjadi “pedagang” ketimbang menjadi “pejuang!”

Kita sementara berada dalam ancaman abrasi yang paling fatal dan serius! Akar paling fundamental dari sebuah bangsa adalah KONSTRUKSI IDENTITAS KEBANGSAAN! Jika konstruksi identitas sebuah bangsa ambruk, maka solidaritas kebangsaan pastinya terancam ambruk. Jika identitas dan solidaritas kebangsaan ambruk, maka eksistensi dari sebuah bangsa pastinya terancam.

Di butuhkan sebuah “kesadaran nasional” untuk bangsa ini merekonstruksi identitas dirinya! Rekonstruksi bukanlah membangun tatanan baru dan mengganti tatanan sebelumnya. Rekonstruksi adalah upaya membangun kembali sehingga sebuah bangunan sesuai desain awalnya. Rekonstruksi identitas bangsa harus bermula dari “kesadaran individual” yang kemudian menjadi “kesadaran kolektif”, dan kesadaran kolektif ini yang akan mengubah cara pandang dan berperilaku bangsa ini.

Dan untuk membumikan kesadaran nasional di butuhkan empat matra yang berperan sentral dan saling terkait, yaitu lembaga agama melalui navigasi spiritual yang membumi, lembaga pendidikan melalui konstruksi intelek kompetitif, lembaga kultural melalui navigasi kearifan lokal (adab) dan partai politik melalui edukasi politik yang rasional dan bermartabat. Ke empat matra ini akan menjadi benteng terakhir agar identitas, solidaritas dan eksistensi bangsa ini tetap lestari.**

Yuk! baca berita menarik lainnya dari INDO BRITA di GOOGLE NEWS dan Saluran WHATSAPP

Pos terkait