Bataha Santiago, Sebuah Catatan Ziarah Tamuntuan-Seliang

IndoBRITA,Tahuna- Di Nento, sebuah tanjung yang terletak di desa Karatung I, Kecamatan Manganitu, ada makam yang telah berusia 349 tahun. Berbentuk segi empat, dilapisi tegel putih. Pada prasastinya tertulis: “Biar saya mati digantung, saya tidak mau tunduk kepada Belanda”. Inilah makam Pahlawan Nasional Bataha Santiago.

 

Di tempat itu, 10 November 2024. Di waktu yang dirayakan sebagai Hari Pahlawan, pasangan calon Bupati Sangihe, dr Rinny Tamuntuan dan Wakil Bupati Mario Seliang SE., melakuan ziarah.

 

Mengapa ziarah menjadi catatan yang sepenting ini diperbincangkan?

 

Karena bagi saya, ziarah adalah tradisi mulia umat manusia dalam menjaga nilai kemanusiaannya. Ziarah dalam terminology kebudayaan adalah cara manusia menaruh hormat atas jasa mulia seseorang. Ziarah adalah cara khusus kita berkirim doa.

 

Mengapresiasi perjalanan ziarah Tamuntuan-Seliang, saya jadi ingat peristiwa 6 November 2023 sebagai waktu yang mengharukan bagi negeriku Sangihe.

 

Daerah yang disebut sebagai negeri para “Bahaning Nusa” ini merayakan anugerah gelar Pahlawan Nasional atas perjuangan Bataha Santiago.

 

Nusa kumbahang katumpaeng, itulah frasa abadi dari era heroik abad 17 yang diucapkan Bataha Santiago saat melancarkan perang besar melawan invasi burutal VOC dan Pemerintah Belanda.

 

Dalam sejumlah catatan sejarah, Bataha Santiago disebutkan menolak tunduk hingga pada 1675 ia dijatuhi hukuman mati. Ia digantung di kawasan Tahuna, Sangihe, Sulawesi Utara, yang kini dinamai Teluk Santiago.

 

Kendati kehadiran narasi kepahlawan Bataha Santiago telah lama dikenal luas oleh masyarakat Sangihe dan Sulawesi Utara, bahkan telah diabadikan TNI untuk nama Komando Resor Militer 131/Santiago atau Korem 131/Santiago yang merupakan Korem yang berada di bawah komando Kodam XIII/Merdeka, namun gelar Pahlawan Nasional belum tersandang padanya meski telah diusulkan sejak tahun 2015 ke pemerintah pusat.

 

Baru pada era kepemimpinan pejabat Bupati Sangihe dr. Rinny Tamuntuan, lewat pengusulan ulang yang dikawal gigih dan serius olehnya, anugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Bataha Santiago dapat diraih.

 

Presiden RI, Joko Widodo, dalam Keputusan Presiden Nomor 115-TK-TH-2023 tanggal 6 November 2023 menganugerah gelar Pahlawan Nasional kepada Bataha Santiago.

 

“Perjuangan Pahlawan Nasional Bataha Santiago tak saja punya nilai strategis patriotic, tapi juga mengandung dan menginspirasikan nilai moral bagi kehidupan masyarakat Sangihe bahkan Indonesia,” ucap dr. Rinny Tamuntuan, yang kini Calon Bupati Sangihe didampingi Mario Seliang sebagai Cabup dalam Pilkada 2024, ketika itu.

 

Meski hanya menjabat dalam kurun 2 tahun sebagai Bupati Sangihe, anugerah gelar Pahlawan Nasional kepada Bataha Santiago, terasa bahkan dapat disebut sebagai salah satu “kado historis terindah” Rinny Tamuntuan untuk daerah tercinta Sangihe.

 

Sepanjang menjabat Bupati Sangihe, istri dari putra Sangihe Fransiscus Andi Silangen ini juga dikenal sangat mengedepankan agenda-agenda historis dan kultural pada masa kerjanya.

 

“Mencintai Sangihe bagi saya bukan obral kata-kata yang berunjung pada kepentingan meraih kekuasaan. Namun hanya kerja nyata yang bisa membawa Sangihe ke arah hidup yang lebih baik. Semangat itulah yang saya petik dari nilai kepahlawan Bataha Santiago, untuk membangun Sangihe yang kita cintai bersama,” ujarnya.

 

Merenung ungkapan tulus Rinny Tamuntuan, saya jadi ingat ziarah puitis saya dalam mengenang Santiago berikut ini:

 

tiang kayu dan temali

menggantung keyakinan

telah terpancung koyak oleh abad

namun pemikul jasad tak pernah lupa

betapa gagahnya langit menempa dia

hingga jangankan musuh, bumi pun gentar

tak mampu menguburnya

bukan pula liang lahat tak berterima

tapi ia lebih mulia dibanding seribu belanda

 

—————Mengenang Bataha Santiago, Puisi Iverdixon Tinungki

 

Dalam sejumlah catatan sejarah disebutkan, pada tahun 1675 Gubernur Belanda Robertus Padtbrugge yang berkedudukan di Maluku mengadakan perjanjian persahabatan dengan Raja Santiago, namun ditolaknya. Karena tidak mau tunduk kepada pemerintahan Belanda akhirnya ia dihukum gantung pada tahun 1675 di Tanjung Tahuna.

 

Namun sebuah frasa tentang kecintaannya pada tanah air yang paling banyak diketahui masyarakat Sangihe adalah: “I kite mendiahi wuntuang ‘u seke, nusa kumbahang katumpaeng,” artinya: “Kita harus menyiapkan pasukan perang, agar negeri kita jangan dimasuki musuh”.

 

Don Jogolov Sint Santiago adalah raja kerajaan Manganitu yang berkuasa antara tahun 1670 hingga1675. Bataha Santiago, adalah nama lainnya. Bataha artinya sakti. Don Jugov (Jogolov) Sint Santiago, adalah nama lengkapnya. Lahir di Bowongtiwo-Kauhis, Manganitu pada tahun 1622.

Baca juga:  Rekomendasi Bawaslu Sangihe: Rinny Tamuntuan Tidak Terbukti Memenuhi Unsur Dugaan Pelanggaran

 

Dalam sebuah catatan dari Manganitu, Ernest Barahama (66) lelaki yang dikenal sebagai sebagai penjaga Makam Raja ke- III Kerajaan Manganitu mengatakan kakek dari Santiago bernama Tolosang dan dipanggil pula dengan nama Liungtolosang.

 

Ayahnya bernama Tompoliu, ibunya bernama Lawewe. Kakek dan ayahnya adalah raja I dan II kerajaan Manganitu kepulauan Sangihe. Charles Diamanti, Sapela, Apueng, Gaghinggihe, adalah empat orang adik Santiago.

 

Santiago, salah satu dari raja-raja di tanah Sangihe yang terpelajar. Dikisahkan Barahama, pada tahun 1666, di usia yang ke 39 tahun, Santiago diutus ke Universitas Santo Thomas Manila-Filipina untuk mengikuti sekolah kepemimpinan selama 4 tahun. Fransiscus Xaverius Batahi, anak dari raja Siau, Don Jeronimo Winsulangi, adalah teman kuliahnya di Filipina.

 

Setelah menjalani masa pendidikannya di Filpina, pada tahun 1670 Santiago kembali ke Manganitu dan diangkat menjadi Raja ke III Kerajaan Manganitu menggantikan ayahnya Tompoliu.

 

Selama belajar di Manila-Filipina, Santiago mengetahui banyak hal tentang misi bangsa Barat datang ke Timur. Menurutnya, nusantara sedang dipermainkan oleh bangsa Barat. “Kita bukan sahabat Spanyol atau pun Portugis, juga bukan sahabat VOC Belanda, mereka hanya ingin mengambil hasil bumi kita,” kata Santiago pada suatu waktu kepada rakyatnya.

 

Ini sebabnya, ketika Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) mengeluarkan kontrak panjang yang disebut Lange Contract, ia menganggap kontrak atau perjanjian yang panjang itu merugikan rakyat dan kerajaan yang dipimpinnya.

 

Diketahui, isi Lange Contract antara lain berupa penguasaan atas hasil bumi dan pemberangusan warisan budaya (Sangihe). Ketika kerajaan-kerajaan lain telah menandatanganinya, Santiago adalah satu-satunya raja yang menolak dengan tegas menandatangani kontrak tersebut dan memilih berperang melawan Belanda. Pihak Belanda berang, dan berbagai ancaman datang ditujukan kepada sang Raja.

 

Antara tahun 1670 hingga 1675, adalah waktu yang benar-benar muram bagi kerajaan Manganitu. Ketika itu, kerajaan yang sempat eksis selama 344 tahun sejak berdiri pada tahun 1600 hingga 1944 di tanah Sangihe ini dilanda perang melawan VOC Belanda.

 

Dari sejumlah literatur dan cerita rakyat setempat diketahui, awalnya pihak penjajah Belanda mengirim 7 armada kapal perang menggempur Manganitu. Serangan itu mampu dipatahkan Santiago dan pasukannya. Serangan kedua Belanda melibatkan 15 armada kapal perang.

Serangan yang dasyat ini, membuat Santiago dan pasukannya mundur ke suatu tempat yang dinamakan Batumbakara.

 

Meski telah mundur, pihak Belanda tidak merasa puas sepanjang Santiago tidak membubuhi tanda tangan pada Lange Contract. Diungkapkan Barahama, untuk memaksakan kehendak, Belanda melancarkan siasat licik.

 

Tentang kelicikan tersebut, dalam catatan sejarawan Soleman Montori disebutkan, pihak VOC Belanda lebih dulu memperalat sultan Kaitjil Sibori, anak sultan Mandarsyah, datang ke Manganitu dari Maluku. Sibori membawa Lange Contract untuk ditandatangani oleh Santiago.

 

Walaupun diancam akan dihukum mati oleh VOC jika tidak menyetujui, Santiago tetap tidak mau menandatanganinya. Sultan Kaitjil Sibori pulang ke Maluku tanpa membawa hasil perjanjian.

 

Tidak ditandatanganinya Lange Contract tulis Montori, membuat VOC kecewa dan marah. Dalam menghadapi kemarahan VOC Belanda, Santiago telah siap dengan segala konsekwensinya.

 

Gagal dalam siasat pertama, ungkapnya, pihak VOC Belanda membuat siasat baru, yaitu mengutus sultan Kaitjil Sibori ke Sangihe untuk mempersunting Maimuna, putri raja VI Tabukan, Markus Jacobus Dalero.

 

Pernikahan sultan Sibori dengan Maimuna dilakukan untuk mempermudah masuknya VOC dan sekutunya ke Sangihe. Juga bertujuan agar sultan Sibori bisa tinggal lebih lama di kepulauan Sangihe dan dekat dengan kerajaan Manganitu, yang sesuai rencana akan ditaklukan oleh VOC.

 

Sejak saat itu, VOC Belanda dan sultan Kaitjil Sibori sebagai prins Belanda mulai berperang melawan kerajaan Manganitu. Dari Maluku, armada VOC dikirim ke Soa Tebe, yang merupakan pusat kerajaan Tabukan.

 

Dari Tabukan, mereka menuju ke tanjung Maselihe, lalu memasuki wilayah laut di dekat tanjung Lesa. Pasukan VOC dan pasukan kerajaan Manganitu yang dipimpin oleh Santiago bertemu dan terjadi peperangan di laut.

 

Pertempuran berlangsung berhari-hari. Banyak korban jatuh dari kedua belah pihak. Pasukan Bataha Santiago sulit dikalahkan, sehingga membuat VOC mundur dan menghentikan perang yang sengit itu. Lalu VOC mencari siasat baru untuk mengalahkan Santiago dan pasukannya.

Baca juga:  Laksanakan Rapat Evaluasi Pencocokan Dan Penelitian(Coklit) Dan Laporan Penggunaan Aplikasi E-Coklit Pada Pemilihan Serentak 202, KPU Ajak PPK Bekerja Lebih Teliti

 

Gagal dengan memperalat sultan Kaitjil Sibori, menurut Barahama, pihak VOC Belanda kembali menyuruh dua orang pemberani yang bernama Sasebohe dan Bowohanggima. Kedua pemberani tersebut dipakai untuk mengelabui Santiago.

 

Hingga pada suatu waktu, ungkapnya, Sasebohe dan Bawohanggima datang menemui Santiago. Mereka mengatakan, sangat menyesal karena tidak membantu melawan penjajah. Dengan demikian dibujuklah Santiago ke Tahuna untuk bermusyawarah dengan pemberani-pemberani lainnya guna menyusun siasat jika Belanda datang kembali mereka akan bersatu melawan.

 

Akhirnya Santiago memenuhi tawaran itu. Iapun berangkat ke Tahuna. Pertemuan itu diadakan di Markas Belanda (Sekarang Kodim 1301/Sangihe) yang sebelumnya dikatakan sudah kosong.

 

Setibanya di sana Santiago di kepung dan berhasil ditangkap. Iapun dibujuk dan dipaksa menandatangani kontrak kolonial itu. Santiago tetap pada pendiriannya. Ia menolaknya dengan tegas. Dikatakannya, “apapun yang terjadi pada diri saya, saya tidak akan menandatanganinya,” kata dia.

 

Karena menolak menandatangani kontrak tersebut, pihak penjajah manjatuhi hukuman mati kepadanya. Ia pun melewati beberapa proses hukuman.

 

Dari beberapa cerita rakyat disebutkan, tubuh Santiago diikat dengan batu, lalu ditenggelamkan di Tanjung Maselihe. Setelah para eksekutor itu kembali ke darat, mereka kaget melihat para tentara Belanda sedang mengejar seseorang.

 

Ternyata Santiago sudah berada di darat. Namun demikian ia berhasil kembali ditangkap. Sesudah itu, ia pun di bawah ke Bungalawang ke markas Belanda. Kembali lagi ia dipaksa menandatangani kontrak tersebut, namun Santiago tetap menolaknya.

 

Kali ini hukuman lebih beratpun harus dijalaninya. Tentara Belanda, menurunkan satu drum bensin. Santiago dimasukan di dalamnya lalu di bakar. Akan tetapi sehelai rambutpun tidak ada yang terbakar.

 

Melihat hal itu, pihak Belanda menyeret tubuh (Bokong) Santiago, diarahkan ke mulut meriam, namun senjata dengan daya ledat tinggi itu tidak berfungsi selama enam kali percobaan meledakkan.

 

Setelah berbagai percobaan pembunuhan itu dilakukan ungkap Barahama, akhirnya mereka menggantungnya di sebuah pohon ketapang di Bungalawang Tahuna. Meski demikian, Santiago bertahan sampai tiga hari.

 

Selama tiga hari itu banyak pesan yang ia sampaikan kepada rakyat Manganitu yang menangisinya di tempat itu. satu-satunya pesannya dalam keadaan tergantung yaitu: “Meskipun saya mati digantung, saya tidak akan tunduk kepada Belanda”.

 

Sang raja pun tutup usia di hari ketiga dalam gantungan. Mayatnya kemudian diturunkan, dan dimakamkan apa adanya. Pada waktu pasukan Belanda sedang berpesta pora merayakan keberhasilan membunuh Santiago, Diamanti dan Gaghinggihe, adik laki-laki Santiago mempergunakan kesempatan itu menggali kubur Santiago, lalu mayatnya di bawa ke Manganitu.

 

Rencana untuk memakamkan jenazah sang kakak, di wilayah istana pun gagal, karena Belanda telah mengetahuinya sehingga merekapun dikerjar, maka diam-diam mereka memakamkannya di tanjung Nento, sebuah tempat yang juga berada di wilayah kerajaan Manganitu.

 

Melalui peristiwa itu, nama Bataha dilekatkan kepada Santiago, dengan arti seorang yang sakti. Tak heran jika hari ini banyak yang mengenalnya dengan sebutan Bataha Santiago.

 

Banyak orang menganggap bahwa Bataha Santiago mati dipenggal, dan yang terkubur di Nento hanyalah kepalanya saja. Anggapan itu dibantah oleh penutur, Ernest Barahama. Ia mengatakan peristiwa pemenggalan itu bukan cerita tentang Santiago, akan tetapi sebelumnya yang dipenggal itu adalah Kakek dari Santiago, Raja Kerajaan Manganitu pertama, bernama Tolosang.

 

“Banyak orang mengira Santiago itu dipenggal kepalanya. Padahal tidak demikian. Yang dipenggal itu adalah kakeknya, Tolosang,” kata dia.

 

Pernyataan Barahama itu telah dibuktikan lewat pemugaran pertama makam Santiago di tahun 1974 oleh Depdikbud waktu itu. “Bukti keutuhan mayatnya, pada pemugaran tahun1974 posisi kuburuan Santiago itu panjang. Sementara raja pertama yang di istana hanya satu meter persegi pertanda itu hanya kepala. Kubur Santiago panjang seperti Sapela, adiknya,” jelas Barahama.

 

Makam di Nento, Manganitu tersebut kini menjadi tempat ziarah, baik oleh sanak keturunan dan keluarga Sang Raja, juga oleh masyarakat Sangihe.

 

Dan di tempat itu pula, 10 November 2024, Tamuntuan-Seliang tunduk dalam doa ziarah mengenang sang pahlawan kita: Bataha Santiago. (*)

Yuk! baca artikel menarik lainnya dari INDO BRITA di GOOGLE NEWS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *